Jelajahi jejak kejayaan Sriwijaya! Temukan artefak kuno, candi megah, dan kisah maritim kerajaan bahari yang pernah berjaya di Nusantara.(Pengetahuan)
Whisnu Mardiansyah • 8 October 2025 20:33
Jakarta: Sriwijaya merupakan kekaisaran maritim terbesar dalam sejarah Nusantara yang menguasai perdagangan dunia selama enam abad. Dari pusat kekuasaannya di Palembang, kerajaan ini membangun jaringan dagang yang menghubungkan Tiongkok, India, dan Timur Tengah.
Kerajaan Sriwijaya muncul sebagai kekuatan maritim pada akhir abad ke-7 Masehi. Prasasti Kedukan Bukit dan Talang Tuwo menyebut Dapunta Hyang Sri Jayanasa sebagai pendiri pusat kekuasaan Sriwijaya di sekitar Sungai Musi, Palembang.
Sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya menguasai pelabuhan-pelabuhan strategis dan selat penting. Penguasaan terhadap Selat Malaka dan Selat Sunda menjadi kunci keberhasilan mereka mengendalikan lalu lintas perdagangan internasional. Penguasaan terhadap rute-rute ini memungkinkan Sriwijaya mengenakan pajak, menyediakan layanan transshipment, dan mengendalikan lalu-lintas barang.
Masa kejayaan Sriwijaya berlangsung dari abad ke-7 hingga ke-11 Masehi. Pengaruh kekuasaannya meluas hingga pesisir Sumatra, Semenanjung Melayu, Kalimantan, dan Jawa. Biksu Tiongkok I-Ching yang singgah di Sriwijaya pada akhir abad ke-7 mencatat kerajaan ini sebagai pusat pembelajaran Buddhis. Biksu asing belajar bahasa Sanskerta dan teks-teks Buddhis di Sriwijaya sebelum melanjutkan perjalanan ke India.
Sriwijaya menerapkan sistem mandala dalam pemerintahannya. Sistem ini mengandalkan jaringan patron-klien yang berpusat pada kota pelabuhan dan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya. Penguasa Sriwijaya memanfaatkan patronase agama Buddha Mahayana untuk memperkuat legitimasi. Mereka juga aktif melakukan diplomasi dengan mengirim misi ke Tiongkok.
Pada tahun 1025 M, Sriwijaya mengalami pukulan berat dari serangan Raja Rajendra Chola I. Ekspedisi militer Chola menghancurkan dan menjarah pelabuhan utama Sriwijaya termasuk Palembang dan Kedah. "Serangan Chola ini bersifat menghancurkan aset-aset perdagangan dan menawan beberapa tokoh penting," tulis prasasti Tanjore yang mencatat peristiwa tersebut.
Meski Chola tidak mendirikan pemerintahan tetap di Sumatra, serangan ini melemahkan monopoli maritim Sriwijaya. Peristiwa ini menjadi titik balik yang mempercepat kemunduran imperium besar tersebut. Beberapa faktor turut mempercepat keruntuhan Sriwijaya. Pergeseran pola perdagangan internasional, munculnya kekuatan pesaing baru, dan dinamika internal menjadi penyebab melemahnya pengaruh Sriwijaya.
Setelah abad ke-11, prasasti dan catatan tentang Sriwijaya semakin jarang ditemukan. Sebutan Sanfoqi dalam catatan Tiongkok kemungkinan merujuk pada entitas politik yang berbeda dari Sriwijaya masa jayanya. Warisan Sriwijaya tetap abadi dalam sejarah Indonesia. Penggunaan bahasa Melayu sebagai lingua franca maritim menjadi salah satu kontribusi terbesar kerajaan ini.
Sriwijaya juga berperan penting dalam penyebaran Buddhisme di Asia Tenggara. Temuan arkeologis dan prasasti terus mengungkap peradaban maritim yang pernah jaya ini. Dalam konteks Indonesia sebagai poros maritim dunia, kisah Sriwijaya memberikan pelajaran berharga tentang arti strategis penguasaan jalur laut dan diplomasi maritim. Kejayaan enam abad imperium ini menjadi inspirasi bagi pembangunan maritim Indonesia modern.
Kerajaan Sriwijaya muncul sebagai kekuatan maritim pada akhir abad ke-7 Masehi. Prasasti Kedukan Bukit (683 M) dan Talang Tuwo (684 M) menyebut Dapunta Hyang Sri Jayanasa sebagai pendiri pusat kekuasaan Sriwijaya di sekitar Sungai Musi, Palembang. Sriwijaya menguasai choke points strategis seperti Selat Malaka dan Selat Sunda. Menurut Dr Bambang Budi Utomo, arkeolog senior, penguasaan selat-selat vital ini membuat Sriwijaya menjadi penentu lalu lintas perdagangan dunia saat itu.
Masa kejayaan Sriwijaya (abad 7-11 M) mencatat penguasaan wilayah hingga Semenanjung Malaya, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat. Prasasti Kota Kapur (686 M) di Bangka menjadi bukti ekspansi kekuasaan Sriwijaya. Biksu Tiongkok I-Ching mencatat dalam catatan perjalanannya (671-695 M) bahwa Sriwijaya memiliki lebih dari 1.000 biksu yang mempelajari Buddhisme. "Di sini terdapat banyak sekali teks-teks Buddhis, para biksu seharusnya belajar di sini terlebih dahulu sebelum ke India," tulis I-Ching.
Prof Dr Hasan Djafar, pakar epigrafi Indonesia, menjelaskan, "Sriwijaya bukan hanya kerajaan dagang, tetapi juga pusat pendidikan Buddhis terkemuka di Asia Tenggara"
*Pengerjaan artikel berita ini melibatkan peran kecerdasan buatan (artificial intelligence) dengan kontrol penuh tim redaksi.