Direktur LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, Chaikal Nuryakin. Foto: Metrotvnews.com/Duta Erlangga.
Jakarta: Direktur Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Chaikal Nuryakin, menilai pertumbuhan ekonomi nasional menuju target 8 persen masih menghadapi tantangan mendasar. Terutama dari sisi penciptaan nilai tambah dan kontribusi sektor manufaktur.
Chaikal menjelaskan pertumbuhan ekonomi sejatinya harus didorong oleh peningkatan value added. Bukan sekadar pergeseran aktor ekonomi.
“Kalau dalam teori, pertumbuhan ekonomi ini hanya bisa diciptakan melalui pertambahan nilai tambah. Jadi harus ada PPP (Purchasing Power Parity) yang meningkat, bukan sekadar pergeseran aktor ekonomi,” ujar Chaikal di forum bertajuk "1 Tahun Prabowo–Gibran: Optimism on 8% Economic Growth" di JS Luwansa Hotel & Convention Center, Jakarta, Kamis, 16 Oktober 2025.
Menurut Chaikal, jika Indonesia ingin naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi, perlu strategi yang menumbuhkan sektor manufaktur bernilai tambah. Dia menekankan bukan hanya bergantung pada perdagangan atau jasa berisiko rendah.
“Jasa boleh menjadi pendorong pertumbuhan, tapi harus jasa yang value added, bukan sekadar perdagangan,” ujar Chaikal.
Ia menambahkan, berbagai inisiatif seperti hilirisasi industri perlu dipastikan benar-benar menciptakan rantai produksi baru. Bukan sekadar mengganti aktor ekonomi tanpa peningkatan produktivitas.
Chaikal menilai pemerintah saat ini mulai mendorong sektor ekonomi di pedesaan dan mengaktifkan entitas baru seperti koperasi maupun BUMD. Namun, belum terlihat kontribusi nyata terhadap penciptaan nilai tambah secara nasional.
Forum bertajuk "1 Tahun Prabowo-Gibran: Optimism on 8% Economic Growth". Foto: Metrotvnews.com/Duta Erlangga.
“Saya sangat apresiasi pertumbuhan di perdesaan, tapi kalau ingin mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen, perlu dilihat apakah sektor-sektor seperti pertanian dan koperasi cukup kuat menjadi mesin utama pertumbuhan,” ujar Chaikal.
Chaikal mengingatkan bahwa negara-negara yang berhasil keluar dari
middle income trap seperti Korea Selatan dan Polandia selalu melewati fase industrialisasi yang kuat. “Kontribusi manufaktur Indonesia tertinggi di awal 2000-an, saat pendapatan per kapita kita masih di bawah seribu dolar. Itu terlalu dini untuk mengalami deindustrialisasi,” jelas Chaikal.