#OnThisDay: Perobekan Bendera Belanda di Hotel Yamato Surabaya 19 September 1945

Insiden perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato Surabaya oleh Pemuda Indonesia 19 September 1945. Arsip Nasional Republik Indonesia

#OnThisDay: Perobekan Bendera Belanda di Hotel Yamato Surabaya 19 September 1945

Whisnu Mardiansyah • 19 September 2025 06:40

Jakarta: Pascaproklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, gelombang euforia dan upaya merebut kekuasaan dari tangan Jepang menyebar ke seluruh penjuru Indonesia. Surabaya, sebagai kota pelabuhan terbesar dan pusat militer, menjadi salah satu episentrum pergerakan. Suasana di kota ini sangat kental dengan semangat revolusioner yang dipelopori oleh para pemuda dan didukung oleh badan-badan perjuangan seperti BKR (Badan Keamanan Rakyat).

Namun, situasi internasional semakin rumit. Belanda berambisi kembali menjajah Nusantara dengan kedok Nederlandsch Indië Civil Administratie atau (NICA), membonceng pasukan Sekutu yang bertugas melucuti senjata Jepang dan memulangkan tawanan perang. Kedatangan mereka di Surabaya, dipimpin oleh Brigadir Jenderal AWS Mallaby ini memicu ketegangan. Kelompok Pro-Belanda mulai menunjukkan keberaniannya, dan salah satu simbol itulah yang bermuara pada peristiwa di Hotel Yamato.

Hotel Yamato Simbol Kolonial

Hotel Yamato (kini bernama Hotel Majapahit) di Jalan Tunjungan Nomor 65 adalah simbol kejayaan kolonial Belanda. Dibangun pada 1910 dengan nama Hotel Oranje oleh Lucas Martin Sarkies, keluarga pengusaha hotel ternama. Selama pendudukan Jepang, namanya diubah menjadi Hotel Yamato. Pascakekalahan Jepang, sekelompok orang Belanda dan Indo yang dibebaskan dari kamp tawanan, dipimpin oleh Mr WVC Ploegman, mengambil alih dan menjadikannya markas mereka.

Pada sore hari 18 September 1945, Ploegman dan anak buahnya dengan sengaja mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru) di puncak tiang bendera hotel, setinggi lebih dari 10 meter. Ini adalah provokasi terbuka. Bagi mereka, pengibaran bendera adalah klaim bahwa kekuasaan Belanda masih berlaku. Bagi rakyat Surabaya, itu adalah penghinaan terhadap Sang Saka Merah Putih yang telah dikibarkan di seluruh penjuru kota.

Keesokan harinya, 19 September, bendera Belanda itu masih berkibar. Residen Surabaya, Soedirman (perwakilan Pemerintah RI), mendengar laporan tersebut dan segera bergerak. Sebagai pejabat tertinggi di Surabaya, ia memilih jalur diplomasi terlebih dulu.

Sekitar pukul 11.00, Residen Soedirman, didampingi Sidik (wartawan) dan Hariyono seorang pemuda dari Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), menemui Ploegman di dalam hotel. Soedirman menuntut bendera Belanda diturunkan karena dianggap melanggar kedaulatan RI dan dapat memicu kemarahan rakyat. Ploegman, yang dikenal keras kepala, menolak.
 
Baca: #OnThisDay 16 September: Tragedi Stadion Teladan Medan 1979, Konser Artis Cilik Berakhir Maut

Ia berargumen kekuasaan masih berada di tangan Belanda (NICA). Suasana perundingan memanas. Ploegman bahkan dikabarkan mengeluarkan pistol. Dalam perkelahian yang terjadi, Ploegman dikabarkan tewas tercekik. Berita tentang tewasnya Ploegman dan insiden pistol menyebar ke luar hotel.

Massa rakyat dan pemuda Surabaya yang sudah geram sejak lama pun memadati kawasan Tunjungan. Mereka mengepung Hotel Yamato dan menuntut bendera Belanda segera diturunkan. Situasi semakin tidak terkendali. Pasukan Sekutu (Inggris) yang berjaga pun kewalahan.

Pada malam hari, sekitar pukul 21.00, kerumunan masih belum bubar. Seorang pemuda berani bernama Kusno Wibowo (ada sumber yang menyebutnya Koesno Wibowo), seorang anggota Republik Indonesia Muda, memanjat tiang bendera yang tinggi itu di bawah teriakan sorak massa. Dengan susah payah, ia mencapai puncak. Namun, ia kesulitan melepas bendera yang diikat kuat.

Hariyono, pemuda yang tadi menemani Soedirman, segera memanjat untuk membantunya. Dalam versi yang paling kuat dan didukung banyak saksi, Kusno berhasil melepas bendera dan menurunkannya. Begitu bendera sampai di tangan massa, bagian biru langsung dirobek-robek dengan amarah. Sisa bendera, yang kini berwarna Merah Putih, kemudian diberikan kembali kepada Kusno atau Hariyono yang masih di atas untuk dikerek kembali.

Pemuda itu pun mengibarkan kembali kain Merah Putih itu ke puncak tiang. Sorakan “Merdeka!”, “Hidup Republik Indonesia!” menggema di sepanjang Jalan Tunjungan. Momen bersejarah itu diabadikan oleh beberapa fotografer, termasuk Frans Mendur dari IPPHOS (Indonesia Press Photo Service), yang menjadikannya salah satu foto ikonik Revolusi Indonesia.

Insiden ini secara langsung mempertajam ketegangan antara Indonesia dan Sekutu (Inggris) yang membawa kepentingan Belanda (NICA). Aksi ini, ditambah dengan tewasnya Ploegman, dianggap sebagai pembangkangan oleh Sekutu. Ketegangan ini memuncak pada 30 Oktober 1945 dengan tewasnya pemimpin mereka, Brigadir Jenderal AWS Mallaby, yang kemudian berujung pada Ultimatum 10 November 1945 dan pecahnya Pertempuran Surabaya.

Kini, Hotel Yamato telah berganti nama menjadi Hotel Majapahit. Namun, sejarahnya tidak terlupakan. Sebuah plakat peringatan dan diorama dipasang di lokasi untuk mengabadikan momen bersejarah tersebut. Setiap tahun, pada 19 September, sering dilakukan upacara atau renungan untuk mengenang keberanian para pemuda yang mempertaruhkan nyawa untuk menjaga kehormatan bendera bangsa.

Perobekan bendera di Hotel Yamato adalah bukti bahwa sebuah revolusi seringkali dipicu oleh simbol-simbol. Sehelai kain biru yang dirobek pada malam itu bukanlah akhir dari sebuah kisah, melainkan percikan api yang membakar semangat juang seluruh bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya yang baru saja diraih.

*Pengerjaan artikel berita ini melibatkan peran kecerdasan buatan (artificial intelligence) dengan kontrol penuh tim redaksi.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Whisnu M)