Ilustrasi Bank Indonesia. Foto: MI/Susanto
Insi Nantika Jelita • 18 December 2024 09:49
Jakarta: Bank Indonesia disarankan untuk tetap menahan level suku bunga acuan atau BI Rate pada 6 persen meski memiliki ruang untuk memangkas bulan ini.
Hal itu disampaikan Ekonom makroekonomi dan pasar keuangan Lembaga Penyelidik Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Teuku Riefky lantaran inflasi di Indonesia tengah mengalami tren penurunannya selama delapan bulan terakhir dan mendekati batas bawah target inflasi Bank Indonesia 1,5 persen hingga 3,5 persen.
Dalam catatannya, inflasi umum semakin menurun mendekati batas bawah kisaran target inflasi Bank Indonesia hanya sebesar 1,55 persen secara
year on year (yoy) pada November 2024, turun dari 1,71 persen yoy pada Oktober 2024. Inflasi November 2024 merupakan tingkat inflasi terendah sejak April 2021.
"Kami berpandangan BI perlu menahan suku bunga acuannya pada enam persen dalam rapat Dewan Gubernur di Desember ini," ujar Riefky dilansir
Media Indonesia, Rabu, 18 Desember 2024.
Ia menyampaikan penurunan inflasi bahan makanan ditambah dengan deflasi pada harga pangan bergejolak menjadi faktor utama yang mendorong penurunan tingkat inflasi secara keseluruhan. Berkurangnya tekanan harga pada kelompok bahan makanan bergejolak dan bahan makanan disebabkan oleh efek high-base dan pasokan bahan makanan yang memadai setelah musim panen.
Inflasi pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau turun dari 2,35 persen yoy pada Oktober 2024 menjadi 1,68 persen (yoy) pada November 2024. Inflasi kelompok informasi, komunikasi, dan jasa keuangan tidak berubah pada level -0,28 persen yoy dari September hingga November 2024.
Kemudian, Riefky menerangkan inflasi tahunan cenderung menurun, mendekati batas bawah kisaran target inflasi dan hanya kurang 0,05 poin persentase dari target.
Ilustrasi Bank Indonesia. Foto: MI/Susanto
Risiko eksternal datang dari tarif Donald Trump
Dari sisi eksternal, lanjutnya, risiko tekanan inflasi tambahan berasal dari potensi pemberlakuan tarif baru di bawah pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, yang dapat meningkatkan biaya impor dan berkontribusi terhadap inflasi impor.
Potensi pengenaan tarif dan kebijakan perdagangan pemerintah AS dianggap menjadi faktor dominan yang mempengaruhi pergerakan arus modal internasional dalam beberapa minggu terakhir, mendorong investor untuk mengalihkan asetnya dari pasar negara berkembang dan memicu pelemahan mata uang negara-negara berkembang.
Riefky mencatat aliran arus modal keluar secara masif dari pasar negara berkembang beberapa waktu terakhir telah memicu tekanan depresiasi dan menyebabkan kenaikan Indeks USD (DXY) dari 103,42 pada awal November menjadi 106,94 pada pertengahan Desember.
Dalam 30 hari terakhir, rupiah terdepresiasi 1,39 persen month to month dari Rp15.770 per dolar AS, menjadi Rp15.990 per dolar AS. Rupiah pun terdepresiasi lebih dalam daripada yuan Tiongkok, rupee India, baht Thailand, rand Afrika Selatan, dan ringgit Malaysia.
"Walaupun ada ruang bagi BI untuk memangkas suku bunga acuannya, rupiah sedang mengalami tekanan depresiasi yang cukup signifikan dan pemotongan suku bunga dapat memperburuk tekanan tersebut," ujar dia.