Ilustrasi pertanian makin berat. MI/Seno
Media Indonesia • 8 March 2024 07:22
BERTUMBUH dan tangguh. Dua diksi itu kerap dilontarkan pemerintah di saat memaparkan angka-angka pertumbuhan ekonomi. Ada perasaan bangga dan percaya diri ketika elite bangsa memaparkan pertumbuhan perekonomian Indonesia yang mampu mencatatkan konsistensi di tengah perlambatan global.
Melalui laman beragam kementerian, mereka memaparkan raihan pertumbuhan ekonomi mampu melampaui prediksi sebesar 5,03 persen. Dengan kata lain, bagi para elite, perekonomian Indonesia jauh lebih baik daripada yang diperkirakan. Anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN mampu bertahan dalam tekanan serta membantu ekonomi untuk lebih baik.
Di atas kertas, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 mencapai 5,05 persen. Dari sisi produksi, sektor pertanian memang menjadi salah satu yang berhasil menampakkan hasil positif atau bertumbuh 1,3 persen. Sektor pertanian ternyata mampu bertumbuh di tengah fenomena El Nino yang berkepanjangan di Tanah Air.
Padahal, bila mengacu data Badan Pusat Statistik atau BPS, pertumbuhan sektor pertanian dari tahun ke tahun belum mampu mendekati, apalagi menyamai kondisi sebelum pandemi covid-19. Pada 2018, pertumbuhan sektor pertanian mencapai 3,88 persen menjadi 3,6 persen pada 2019. Setelah itu, pada 2020 anjlok menjadi 1,77 persen. Pada 2021, agak membaik menjadi 1,87 persen dan 2,25 persen pada 2022.
Sungguh tidak masuk nalar bila pemerintah berbangga atas pertumbuhan sektor pertanian yang justru anjlok ketimbang masa pandemi covid-19. Belum lagi, para pemimpin bangsa ini mungkin lupa mengamati ketimpangan tingkat pertumbuhan ekonomi dan sektor pertanian. Masih terjadi ketidakseimbangan kinerja ekonomi makro dengan sektor pertanian.
Seperti diungkapkan Guru Besar Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Bustanul Arifin, minimnya pertumbuhan sektor pertanian ikut disumbangkan produksi padi di Indonesia yang stagnan. Pada 2023, produktivitas padi berada di angka 5,26 ton per hektare atau naik tipis daripada 5,24 ton per hektare pada 2022. Namun, itu jauh dari kata mencukupi.
Kalau melihat ketimpangan dan terus menurunnya pertumbuhan sektor pertanian, bagaimana kita bisa berharap ada swasembada pangan? Apalagi, kalau hendak mencapai kedaulatan pangan.
Ide produksi pangan dalam negeri akan mampu memenuhi setidaknya 90 persen dari kebutuhan konsumsi dalam negeri untuk mencapai swasembada beras seakan kembali menjadi angan-angan semata. Catatan keberhasilan Indonesia mencapai swasembada beras pada 1984 dan 2019-2021 seakan tinggal sejarah.
Baca Juga:
Perlu Dijaga Stabil, Inflasi Volatile Food Harus Berada di Bawah 5% |