Donald Trump dan Kim Jong-un dalam pertemuan pertama di Singapura pada 2018 lalu. (Getty Images)
Marcheilla Ariesta • 22 November 2024 14:26
Pyongyang: Pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-Un tampaknya mengesampingkan prospek peningkatan hubungan dengan Amerika Serikat di bawah Presiden terpilih Donald Trump. Kim mengatakan, negosiasi dengan AS di masa lalu hanya menegaskan permusuhannya yang tak tergoyahkan.
Kim tidak menyebut nama Trump tetapi mengatakan bahwa mengingat kebijakan AS terhadap Korea Utara, satu-satunya pilihannya adalah mencapai kemampuan militer paling kuat. Pernyataan Kim dikeluarkan oleh media pemerintah Korea Utara, KCNA.
"Kami telah melakukan segala upaya dalam negosiasi dengan AS, dan yang pasti dari hasilnya adalah kebijakan invasif dan permusuhan yang tidak berubah terhadap Korea Utara," kata Kim dalam pidatonya pada pembukaan pameran senjata Pengembangan Pertahanan Nasional-2024 di Pyongyang yang diadakan pada Kamis, 21 November 2024.
"Mengingat kenyataan ini, Korea Utara menyadari setiap hari dan setiap jam bahwa mencapai kemampuan militer paling kuat adalah satu-satunya cara untuk menjaga perdamaian dan memberikan jaminan keamanan dan pembangunan yang kuat," imbuh Kim dikutip dari Radio Free Asia, Jumat, 22 November 2024.
Trump mempelopori upaya diplomatik yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Korea Utara selama masa jabatan pertamanya sebagai presiden dalam upaya untuk membuatnya menghentikan program nuklir dan misilnya.
Ia bertemu Kim tiga kali, dimulai pada Juni 2018 di Singapura, kemudian di Hanoi pada Februari 2019, lalu di Zona Demiliterisasi antara Korea Utara dan Korea Selatan pada Juni 2019, di mana Trump menjadi presiden AS pertama yang menginjakkan kaki di wilayah Korea Utara.
Trump berusaha untuk mengekang program nuklir Korea Utara, sementara Kim bertujuan untuk meringankan sanksi dan mendapatkan prestise internasional tetapi upaya tersebut tidak membawa kemajuan nyata dalam denuklirisasi atau perbaikan hubungan yang langgeng.
Dalam pidatonya, Kim menuduh AS memperkuat aliansi militer dan mengerahkan senjata strategis yang menargetkan Korea Utara.
Kim mengatakan negaranya tidak akan pernah mengabaikan kemungkinan keamanannya dilanggar dan tidak akan pernah menyerahkan "bandul keseimbangan militer", yang tampaknya merujuk pada senjata nuklirnya.
Sejak pertemuannya dengan Trump, Korea Utara telah meningkatkan pengujian senjatanya dan berjanji untuk memperluas persenjataan nuklirnya. Kim juga telah mengambil sikap yang lebih keras terhadap sekutu AS, Korea Selatan, dengan menyatakannya sebagai "musuh permanen" sembari memperkuat hubungan dengan Rusia, menandatangani pakta pertahanan dengan Rusia, dan mengirim lebih dari 10.000 tentara untuk membantu perang Presiden Vladimir Putin melawan Ukraina.
Selama kampanye pemilihan presiden AS, Trump membela hubungannya dengan Korea Utara dengan mengatakan dirinya "akrab" dengan Kim, dan itu hal yang baik. Trump juga mengisyaratkan Korea Utara tidak akan "bertindak" jika ia kembali ke Gedung Putih.
Mantan penasihat Trump, Robert O'Brien, mengatakan kepada media pada September bahwa Trump mungkin akan melanjutkan pembicaraan dengan Korea Utara jika terpilih kembali, tetapi mempertanyakan apakah Kim akan berkomitmen untuk denuklirisasi.
Baca juga: Intelijen Korsel: Korut Ekspor Amunisi Tambahan ke Rusia