Empat Hari Serangan Israel di Kamp Rafah Korban Tewas Capai 66 Jiwa

Serangan Israel di tempat penampungan warga Gaza di Rafah. Foto: Anadolu

Empat Hari Serangan Israel di Kamp Rafah Korban Tewas Capai 66 Jiwa

Medcom • 30 May 2024 08:05

Rafah: Setelah empat hari yang mematikan di mana puluhan orang yang mencari keselamatan di Rafah di Gaza selatan telah terbunuh dan ratusan lainnya terluka, Save the Children menyerukan tindakan segera untuk melindungi warga sipil di Rafah dan di seluruh jalur Gaza.

Serangan ini terjadi kurang dari seminggu setelah Mahkamah Internasional (ICJ) memerintahkan Israel untuk ‘segera’ menghentikan serangan militernya di Rafah, untuk melindungi nyawa dan membiarkan pasokan bantuan penting masuk. Sebaliknya, kekerasan brutal di Rafah justru meningkat, dengan sedikitnya 66 orang tewas dan ratusan lainnya terluka, termasuk anak-anak.

Rafah terus-menerus dibombardir sejak keputusan ICJ pada hari Jumat. Menurut Kementerian Kesehatan di Gaza dan PBB, setidaknya 21 orang tewas, termasuk wanita dan anak-anak, dalam serangan besar pada hari Selasa yang menghantam kamp pengungsi di Rafah.

Kementerian Kesehatan mengatakan 64 orang terluka, 10 orang berada dalam kondisi kritis. Pada hari Minggu, setidaknya 45 orang tewas dan 250 luka-luka, mayoritas perempuan dan anak-anak, dalam serangan Israel terhadap sebuah kamp pengungsi dari kota Rafah di selatan, menurut Kementerian Kesehatan di Gaza.

Serangan di Rafah memicu kemarahan internasional terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, serta semakin memecah belah negara tersebut atas upaya perangnya. 

Selain kecaman global, Netanyahu juga mendapat serangan dalam negeri dari para pejabat Israel di dalam dan di luar partainya yang menyerukan visi untuk mengakhiri perang ketika memperluas kampanyenya ke kota Rafah, Gaza selatan meski Amerika Serikat (AS) dan sekutu lainnya mendesak pengekangan.

Sebagian besar masyarakat Israel mendukung militer Israel, IDF, dan kampanyenya untuk memastikan ancaman dari Hamas dihilangkan dan sandera yang diculik dari Israel selama serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 dikembalikan. 

Namun, mereka terpecah belah mengenai cara terjadinya perang, seperti yang digambarkan oleh respons setelah tragedi di Rafah. Di tengah gambaran mengerikan mengenai tubuh hangus dan anak-anak yang tewas, beberapa segmen masyarakat Israel menyalahkan Hamas karena beroperasi di dekat lokasi sipil. Pihak lain mengatakan pembantaian itu harus dihentikan. 


Protes mahasiswa

Mengutip The State, protes terhadap perang Israel di Gaza terjadi hari Selasa di Universitas Ibrani Yerusalem, mahasiswa Yahudi dan Arab melakukan protes dan protes balasan terhadap perang tersebut.

Hal ini menyusul protes Senin malam di kota Haifa yang merupakan kota campuran Yahudi dan Arab, media Ibrani melaporkan bahwa sekitar 100 orang melakukan protes menyerukan segera diakhirinya operasi militer Israel. 

Delapan orang ditangkap dalam protes itu. Beberapa tokoh sayap kanan mengolok-olok kebakaran tersebut sebagai bagian dari hari raya Yahudi Lag BaOmer, api unggun yang merupakan adat tradisionalnya dan hal itu terjadi pada malam yang sama dengan serangan di Rafah. 

“Balita terbakar dan masyarakat di Israel merayakan, mengabaikan, mengoceh atau menguap, seperti inilah gambaran neraka kita,” tulis Yoana Gonen dalam sebuah artikel opini untuk surat kabar berhaluan kiri Haaretz.

“Israel perlahan-lahan tenggelam ke dalam jurang yang gelap, seiring dengan kehancuran Gaza,” tambah Gonen.

Selain itu, Netanyahu menggambarkan kebakaran Rafah sebagai hal yang tragis dan mengatakan, Israel sedang menyelidiki secara menyeluruh dan akan mengambil pelajaran darinya, begitu pula dengan kebijakan serta tindakan yang telah berlangsung lama.

Para pejabat Israel dilaporkan mengatakan kepada AS bahwa pecahan peluru dari serangan yang ditargetkan terhadap para pemimpin senior Hamas menghantam tangki bahan bakar di dekat kamp pengungsi. 

Namun, pembantaian yang diakibatkannya menggarisbawahi kekhawatiran internasional atas tindakan operasi militer Israel dan terjadi hanya beberapa hari setelah pengadilan tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan keputusan bagi Israel untuk menghentikan operasi militernya di Rafah.

“Serangan-serangan ini harus segera dihentikan. Perintah ICJ (Mahkamah Internasional) dan HHI (Hukum Humaniter Internasional) harus dihormati oleh semua pihak,” kata kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borell dalam sebuah pernyataan di media sosial X. 

Di sisi lain, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengaku marah dengan serangan Israel yang menewaskan begitu banyak orang di Rafah. 

“Operasi ini harus dihentikan. Tidak ada wilayah aman di Rafah bagi warga sipil Palestina,” kata Macron dalam sebuah pernyataan di X.

“Saya menyerukan penghormatan penuh terhadap hukum internasional dan gencatan senjata segera,” tambah Macron.

Keputusan tersebut secara teknis mengikat, tetapi sebagian besar tidak dapat dilaksanakan karena Israel bukan pihak dalam pengadilan tersebut. 

Pertemuan membahas situasi di Gaza

AS dan Israel juga berpendapat ICJ tidak memiliki yurisdiksi di Gaza. Di PBB sendiri, Aljazair yang didukung oleh Slovenia meminta sidang darurat Dewan Keamanan diadakan hari Selasa untuk membahas situasi di Gaza.

Pertemuan tertutup ini dapat menempatkan AS dalam posisi yang salah, biasanya berdiri sebagai salah satu pembela Israel yang paling gigih dan memveto resolusi yang menurut mereka bias terhadap Israel. 

Namun pemerintah juga abstain dari resolusi yang menyerukan Israel untuk menerapkan gencatan senjata, karena kekhawatiran bahwa operasi Israel di Gaza telah berjalan terlalu jauh. 

Hingga Selasa pagi, Gedung Putih belum memberikan komentar terbuka mengenai penilaiannya terhadap serangan Israel di Rafah. 

Sebelumnya, Presiden Biden telah memperingatkan bahwa ia akan menunda pengiriman senjata ke Israel jika perlindungan terhadap nyawa warga sipil tidak diprioritaskan di Rafah.

Namun, Netanyahu menolak seruan untuk menghentikan perang dan tank-tank Israel dilaporkan meluncur ke pusat Rafah untuk pertama kalinya pada Selasa, 28 Mei 2024.

Mengutip Reuters, serangan terpisah menewaskan 21 warga Palestina dalam sekelompok tenda dekat Rafah di daerah yang Israel sarankan kepada warga sipil untuk pindah demi keselamatan.

Para pemimpin Israel berargumen bahwa kecaman internasional memperkuat posisi Hamas dalam perundingan gencatan senjata bertujuan untuk membebaskan sekitar 125 sandera yang ditahan kelompok teroris tersebut sejak mereka menyerang Israel pada 7 Oktober 2023. 

“Saya tidak akan menyerah. Saya tidak akan mengakhiri perang sebelum mencapai semua tujuan kita. Pahlawan kita yang gugur tidak akan mati sia-sia,” jelas Netanyahu dalam pidatonya di Knesset, parlemen Israel pada Senin malam. 

Namun, AS dilaporkan bekerja sama dengan Qatar untuk menghidupkan kembali perundingan yang gagal pada awal bulan ini mengenai hal yang Israel katakan sebagai persyaratan yang tidak dapat diterima oleh Hamas, serta menyerukan penarikan penuh militer Israel dan gencatan senjata permanen.

Pejabat Israel lainnya membuka kemungkinan negosiasi untuk membebaskan para sandera dengan usulan AS sebelumnya yang menyerukan gencatan senjata selama enam hingga delapan minggu. 

“Kami melakukan upaya luar biasa dan akan terus melakukannya, baik melalui aktivitas kinetik maupun mencapai kesepakatan,” kata Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant hari Minggu merujuk pada negosiasi penyanderaan. 

Namun, peluncuran setidaknya delapan roket ke arah Tel Aviv yang ditembakkan Hamas dari Rafah sekitar 75 mil jauhnya, memperkuat masyarakat serta tentara bahwa Hamas dan ancamannya terhadap Israel masih jauh bisa dihilangkan.

“Kita perlu mengambil napas dalam-dalam,” kata seorang komandan tempur Israel yang mengawasi keamanan koridor Netzarim di Gaza.

“Kami memahami bahwa hal ini akan memakan waktu lama, jika kami benar-benar ingin menghilangkan akar Hamas, jelas bahwa hal ini akan memakan waktu lama,” lanjutnya.

Selain itu, IDF telah membentuk koridor Netzarim yang memisahkan bagian utara Jalur Gaza dari selatan untuk mencegah Hamas berkumpul kembali di utara.

Namun, strategi ini berada di bawah tekanan karena pasukan IDF terus memerangi kelompok pejuang Hamas di kota utara Jabaliya. Meskipun, operasi berbulan-bulannya bertujuan untuk membunuh anggota kelompok tersebut dan menghancurkan infrastruktur mereka. 

“Anda datang ke wilayah tersebut, Anda datang ke suatu wilayah, Anda membersihkannya. Begitu Anda keluar, mereka akan mulai dan membangun kembali momentumnya,” kata komandan Israel yang namanya dirahasiakan oleh protokol keamanan IDF.

“Jadi ini sebabnya hal ini akan memakan waktu lama, dan itu bagian dari hal tersebut,” lanjutnya.

Sementara itu, Israel juga memandang perang melawan Hamas diperlukan untuk mencegah ancaman dari Iran dan kelompok proksinya di kawasan, khususnya Hizbullah di Lebanon.

Menurut Pusat Penelitian dan Pendidikan Alma, persenjataan Hizbullah dengan lebih dari 200.000 amunisi dipandang sebagai salah satu ancaman paling serius terhadap keselamatan dan keamanan Israel dibandingkan Hamas. 

Diperkirakan 60.000 warga Israel dievakuasi dari komunitas di sepanjang perbatasan utara karena serangan terus-menerus dari roket, mortir, drone, rudal anti-tank, dan sebagainya.

“Kami memiliki Hizbullah di utara. Mereka perlu memahami bahwa mereka berani melakukan sesuatu, maka kami dapat melakukan apa yang kami lakukan di Gaza terhadap Lebanon,” kata seorang wakil komandan Israel, tak lama keluar dari Jalur Gaza setelah beberapa minggu bertugas tempur. 

Meski ada tekad untuk melanjutkan perang, masih ada kelelahan. 

Perang Israel melawan Hamas di Gaza merupakan perang yang belum pernah terjadi sebelumnya, hampir delapan bulan pertempuran aktif.  Sejauh ini, Netanyahu menahan diri dalam tidak menjelaskan visinya untuk Gaza pascaperang. Perdebatan yang bergejolak dan ketegangan politik mengenai arah dan waktu perang tersebut akan berakhir. 

Sinyal sejauh ini menunjukkan bahwa Israel sedang mempersiapkan kehadiran keamanan jangka panjang di Jalur Gaza, serupa dengan cara mereka beroperasi di wilayah Palestina, Tepi Barat. 

“Saya tidak berpikir ini akan menjadi akhir dari semua perang, ini tidak akan berakhir,” ujar wakil komandan tersebut.

“Mereka (Hamas) memilih perang ini dan kita harus menanggung akibatnya. Akibat perang, selalu ada kerugian, semua orang kalah dalam perang,” jelasnya. 

Namun, ia menambahkan bahwa kekalahan tergantung pada siapa yang akan kalah lebih banyak. (Theresia Vania Somawidjaja)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Fajar Nugraha)