Jared Kushner, menantu mantan Presiden AS Donald Trump. Foto: EPA-EFE
Fajar Nugraha • 20 March 2024 19:00
Gaza: Menantu Donald Trump, Jared Kushner menilai Gaza berpotensi sebagai "properti tepi laut" yang berharga. Kushner juga menyerukan Israel untuk mengusir warga sipil sebelum ‘membersihkan’ Jalur Gaza dalam sebuah wawancara di Universitas Harvard pada 15 Februari.
Mantan pengusaha properti, menantu Donald Trump dan mantan penasihat senior mengatakan bahwa “properti tepi laut Gaza bisa sangat berharga jika masyarakat fokus pada peningkatan mata pencaharian.”
“Situasinya sedikit disayangkan di sana, tapi dari sudut pandang Israel, saya akan melakukan yang terbaik untuk memindahkan orang-orang keluar dan kemudian membersihkannya,” kata Kushner, seperti dikutip Middle East Eye, Rabu 20 Maret 2024.
“Tetapi menurut saya Israel tidak menyatakan bahwa mereka tidak ingin warga Gaza kembali ke sana setelahnya,” ungkap Kushner
Kushner menambahkan bahwa prioritas Israel harusnya mengusir warga sipil dari kota Rafah di selatan dan ‘membuka’ gurun Negev sebelum memindahkan mereka ke Mesir ‘dengan diplomasi’.
“Saya hanya akan melibas sesuatu di Negev, saya akan mencoba memindahkan orang ke sana,” kata Kushner.
“Saya pikir itu pilihan yang lebih baik, sehingga Anda bisa masuk dan menyelesaikan pekerjaan,” imbuh Kushner.
“Saya sedang duduk di Miami Beach sekarang. Dan saya melihat situasinya dan berpikir: apa yang akan saya lakukan jika saya ada di sana (Gaza)?,” sebut Kushner.
Kushner adalah penasihat senior kebijakan luar negeri di bawah Trump dan arsitek Rencana Timur Tengah AS di era Donald Trump. Kebijakan yang dikeluarkannya mencakup kesepakatan normalisasi antara Israel dan negara-negara Teluk.
Rencana tersebut menguraikan cara-cara bagi Israel untuk mencaplok pemukiman ilegal di Tepi Barat yang diduduki, termasuk Lembah Yordan yang strategis, menyebut Yerusalem sebagai ibu kota Israel, dan menolak hak warga Palestina untuk kembali ke rumah leluhur mereka di Israel.
Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas memberikan "seribu penolakan", dengan mengartikulasikan bahwa Palestina tetap berkomitmen untuk mengakhiri pendudukan Israel dan mendirikan negara dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya.