Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. (MI/Ebet)
Abdul Kohar • 17 September 2025 07:41
PEMERINTAH akhirnya merespons tanda-tanda. Saya senang dengan itu. Saya juga yakin, rakyat kalangan kelas menengah dan bawah pasti lebih senang lagi atas respons terbaru itu. Pula, saya sangat yakin, akibat respons tersebut, gambaran dan bayang-bayang bakal terjadinya ‘the Chilean Paradox’ di negeri ini kian menjauh.
Di forum ini, sudah dua kali saya menulis soal paradoks Cile. Pertama, awal 2024. Tulisan kedua, akhir pekan lalu. Tulisan kedua saya kaitkan dengan kerusuhan di Nepal akhir-akhir ini yang menewaskan lebih dari 50 orang. Tujuan saya mengulang-ulang tulisan soal itu, tidak lain dan tidak bukan, ingin menguatkan tanda-tanda. Siapa tahu, pemerintah membacanya lalu mengambil tindakan sebelum semuanya terlambat seperti di Cile dan Nepal.
Di Cile, lebih dari lima tahun lalu, terjadi kerusuhan dan badai politik justru ketika ekonomi sedang bagus-bagusnya dan kemiskinan sudah sangat sukses ditekan. Perkaranya disulut kaum menengah yang lalai diperhatikan. Kerusuhan tersebut dimotori kelas menengah Cile yang merasa tidak puas dengan pemerintahan.
Mengapa? Mereka menilai kebijakan-kebijakan pemerintah Cile saat itu memang terlalu fokus kepada 10% masyarakat terbawah, sedangkan kebutuhan kelas menengah terhadap pendidikan yang bagus dan fasilitas umum yang layak amat kurang mendapatkan perhatian. Salah satu contohnya ialah penaikan tarif transportasi umum di jam-jam sibuk sebesar USD1,17 atau sekitar Rp16 ribu pada September 2019. Padahal, sembilan bulan sebelumnya (pada Januari) ongkos transportasi umum setempat sudah dinaikkan. Keputusan itu jelas memukul kaum menengah pekerja.
Demonstrasi pun pecah di ibu kota Cile, Santiago. Lebih dari 1 juta orang turun ke jalan. Demo bahkan berlangsung sangat keras dan menewaskan 18 orang. Sebagian besar korban meninggal akibat terjebak saat menjarah toko yang kemudian dibakar. Presiden Cile saat itu, Sebastian Pinnera, sampai mengumumkan reshuffle besar-besaran pada kabinet.
Peristiwa hampir sama juga terjadi di Nepal. Kemarahan anak muda di Nepal sangat mengerikan. Unjuk rasa yang dipicu larangan penggunaan media sosial berujung kericuhan hingga menelan korban jiwa. Aksi itu juga menggambarkan kekecewaan masyarakat Nepal terhadap kondisi perekonomian yang tersendat, pengangguran di mana-mana, korupsi merajalela, hingga ketidakstabilan politik.
Padahal, ekonomi Nepal sedang naik kelas, meski tak tinggi-tinggi amat. Nepal terbebas dari 10 teratas negara termiskin. Jika mengutip data Bank Dunia, Nepal tercatat sebagai negara dengan pendapatan menengah ke bawah (lower middle income), naik dari sebelumnya negara miskin. Pendapatan per kapita negara tersebut berada di level USD1.447,3 pada 2024.
Dengan pendapatan sebesar itu, Nepal telah melepas status sebagai salah satu dari 10 negara termiskin di dunia, berdasarkan klasifikasi dari World Population Review. Dalam klasifikasi Bank Dunia, negara berpendapatan menengah ke bawah memiliki pendapatan per kapita di rentang USD1.136-USD4.495.
Dari sisi ekonomi, Bank Dunia mencatat pertumbuhan ekonomi Nepal juga mengalami percepatan pada paruh pertama tahun fiskal 2025. Produk domestik bruto riil negara berpenduduk 30 juta jiwa itu tumbuh 4,9%, naik dari 4,3% pada paruh pertama tahun fiskal 2024. Pertumbuhan itu didorong terutama oleh sektor pertanian dan industri meskipun terjadi perlambatan di sektor jasa.
Nepal juga mencatat inflasi rendah sebesar 5%, turun jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar 6,5%. Penurunan itu terutama disebabkan inflasi nonmakanan dan jasa, terutama di perumahan, utilitas, dan layanan restoran. Bank Dunia juga memperkirakan ekonomi Nepal akan tumbuh rata-rata 5,4% per tahun pada 2026-2027.
Baca Juga:
Pemerintah Rilis Paket Stimulus Ekonomi 2025 8+4+5, Berikut Daftarnya |
Meski keluar dari status negara miskin, Nepal masih menghadapi banyak persoalan terkait dengan kelas menengah mereka. Tantangan struktural yang signifikan terus menghambat pertumbuhan domestik dan penciptaan lapangan kerja. Produktivitas tenaga kerja secara keseluruhan masih rendah. Persaingan yang lemah di bidang logistik dan transportasi, serta infrastruktur yang kurang memadai, membatasi ekspor sehingga tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi riil selama beberapa dekade terakhir.
Jika mengutip Times of India, tingkat pengangguran anak muda, khususnya generasi Z, mencapai 20,8%. Secara nasional, tingkat pengangguran Nepal konsisten berada di atas 10% selama beberapa tahun terakhir dan mencapai 10,7% pada 2024. Angka-angka itu menggumpal menjadi keresahan bersama, ditambah dengan gaya hidup pejabat dan keluarga pejabat yang gemar pamer.
Penutupan medsos akibat para pemilik medsos itu tidak patuh terhadap aturan Nepal, sebenarnya hanyalah pemicu. Perkara dominannya soal kelas menengah dan gen Z yang luput dari perhatian. Situasi itu mirip dengan Cile, yang dalam gambaran makroekonomi angka-angka statistiknya memang moncer, tapi kelas menengah lalai diurus. Mereka itulah kaum cerdas yang pasti akan ‘cerewet’ terhadap keadaan.
Karena itulah, ketika pemerintah Indonesia meluncurkan 17 program paket stimulus ekonomi yang dinamakan Paket Stimulus Ekonomi 8+4+5 dengan total stimulus mencapai Rp16,23 triliun, saya menilai keputusan itu responsif. Apalagi, paket stimulus itu banyak menyasar kaum pekerja informal yang selama ini menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja.
Melalui stimulus paket ekonomi itu, pemerintah mengejar target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% pada akhir 2025, dan menjaga daya tahan kelas menengah agar tidak makin goyah. Apalagi, program itu mencakup delapan inisiatif utama, empat program yang diperpanjang ke 2026, serta lima program khusus untuk penyerapan tenaga kerja.
Salah satu stimulus dalam delapan inisiatif utama itu ialah diskon 50% iuran BPJS Ketenagakerjaan untuk pengemudi ojek online (ojol), ojek pangkalan, sopir, kurir, dan logistik. Mereka itu ialah para pekerja informal yang selama ini tak disentuh perlindungan. Padahal, jumlah pekerja informal di negeri ini masih lebih dari 74 juta orang, atau hampir 58% dari total angkatan kerja. Itu artinya lebih dari separuh.
Selain itu, pemerintah akan memberikan bantuan pangan berupa 10 kg beras selama dua bulan terhadap 18,3 juta keluarga penerima manfaat. Bantuan seperti itu juga dimaksudkan sebagai bantalan agar tingkat kemiskinan rakyat tidak semakin dalam. Semoga stimulus itu nyata, bukan ilusi. Semoga paket bantuan itu seperti penggalan lirik lagu Kau Datang karya band Krakatau: ‘Kau datang, demi kebahagiaanku yang kunanti’.