Hussam Shabat jurnalis dari Al Jazeera Mubasher, tewas dibunuh Israel. Foto: MEE
Washington: Pemerintah Amerika Serikat (AS) menghadapi gelombang kritik setelah menolak mengkaji pembunuhan dua jurnalis dalam serangan Israel ke Gaza, dan justru menyalahkan Hamas sepenuhnya atas insiden tersebut.
Dalam konferensi pers pada Senin, 24 Maret 2025, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri AS, Tammy Bruce, menyatakan bahwa setiap kejadian di Gaza merupakan akibat dari Hamas dan pilihannya menyeret wilayah tersebut ke dalam penderitaan.
Pernyataan kontroversial ini muncul setelah serangan Israel menewaskan Hossam Shabat, koresponden Al Jazeera Mubasher, di Gaza Utara, serta Mohammed Mansour dari Palestine Today TV beserta keluarganya di Khan Younis.
Kedua kematian ini meningkatkan total jurnalis yang tewas di Gaza menjadi 208 orang sejak Oktober 2023, menurut catatan otoritas setempat. Kantor media pemerintah Gaza menuding Israel, AS dan sekutunya bertanggung jawab penuh atas apa yang disebut kejahatan brutal.
Pembelaan AS untuk Israel
Ketika didesak wartawan apakah pembunuhan para jurnalis dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang, Bruce dengan tegas menolak memberikan jawaban langsung.
"Saya tidak akan berdiri di sini menyatakan apa yang merupakan kejahatan perang," ujar Bruce, dikutip dari
Anadolu, Selasa, 25 Maret 2025, sambil menegaskan kembali dukungan tak bersyarat Washington untuk "hak Israel mempertahankan diri".
Lebih lanjut, Bruce menggambarkan Hamas sebagai entitas yang telah "menghancurkan kehidupan selama beberapa generasi dan akan terus berlanjut".
Ia menambahkan, "Kejahatan sesungguhnya adalah pembantaian massal terhadap individu, tentu saja penargetan orang hanya karena siapa mereka."
Pernyataan ini dianggap banyak pengamat sebagai upaya mengalihkan pembicaraan dari pertanyaan kritis tentang operasi militer Israel di Gaza.
Insiden ini terjadi di tengah tekanan internasional yang semakin besar terhadap Israel.
Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Sementara itu, Israel juga menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait operasi militernya di Gaza.
Di sisi lain, jumlah korban tewas warga
Palestina di Gaza telah melampaui 50.000 jiwa, sebagian besar perempuan dan anak-anak, sejak dimulainya serangan Israel pada Oktober 2023 sebagai respons atas serangan lintas batas Hamas yang menewaskan kurang dari 1.200 orang di Israel.
Dampak dan reaksi
Pernyataan Kementerian Luar Negeri AS ini diprediksi akan memicu kecaman lebih luas dari berbagai organisasi pers internasional dan kelompok hak asasi manusia. Komite untuk Perlindungan Jurnalis (CPJ) dalam laporan sebelumnya telah mencatat Gaza sebagai zona konflik paling mematikan bagi para jurnalis dalam sejarah modern.
Para kritikus menilai sikap AS yang terus membela Israel tanpa batas semakin mengikis kredibilitas Washington sebagai penengah konflik yang netral.
Sementara itu, tekanan terhadap administrasi Presiden Donald Trump untuk meninjau kembali dukungan militernya ke Israel diperkirakan akan semakin menguat di tengah laporan-laporan tentang korban sipil yang terus berjatuhan.
(
Muhammad Adyatma Damardjati)