Keluarga Whittakers di Amerika Serikat, sering disebut 'keluarga paling cacat' akibat praktis inses di AS. (SofWhiteUnderBelly/MarkLaita)
Jakarta: Kepolisian Republik Indonesia baru saja membongkar grup Facebook "Fantasi Sedarah" yang menjadi sarang pelaku pelecehan seksual terhadap anak. Salah satu tersangka berinisial MS, ditangkap di Kudus atas tindakan pencabulan terhadap keponakannya sendiri yang masih anak-anak.
Kasus ini menggambarkan bagaimana inses atau hubungan seksual sedarah bisa terjadi secara terselubung dan penuh manipulasi.
"Sampai dengan saat ini itu tidak ada keterpaksaan, karena mereka juga tidak sadar kalau mereka dilakukan pencabulan atau pelecehan terhadap dirinya," ujar Brigjen Nurul Azizah, Jakarta, Kamis, 22 Mei 2025.
Di luar aspek hukum dan moral yang jelas melarang, hubungan inses juga menyimpan dampak kesehatan dan sosial yang sangat serius. Berikut adalah penjelasan ilmiah dari berbagai studi internasional.
Risiko Kesehatan: Penyakit Genetik dan Cacat Lahir
Salah satu dampak paling nyata dan serius dari hubungan sedarah adalah meningkatnya risiko kelainan genetik pada keturunan. Hal ini disebabkan oleh kemungkinan besar kedua orang tua yang memiliki hubungan darah membawa gen resesif yang sama. Ketika dua gen resesif tersebut bertemu, anak memiliki peluang hingga 25% untuk mengalami penyakit genetik bawaan.
Melansir tulisan A.A. Bimbinov peneliti dari Universitas Hukum Moskow tahun 2022, Bimbinov menjelaskan bahwa praktik inbreeding atau perkawinan sedarah meningkatkan homozygosis dalam populasi manusia, fenomena ini disebut sebagai inbreeding depression.
Artinya, semakin besar kemungkinan gen-gen berbahaya yang tersembunyi selama beberapa generasi akan muncul dalam bentuk kelainan yang nyata. Dalam konteks ini, inses menjadi saluran efektif bagi munculnya penyakit-penyakit langka namun serius.
Temuan serupa juga diperoleh dalam studi di Kota Bradford, Inggris oleh Bradford Institute for Health Research tahun 2013, penelitian tersebut menunjukkan bahwa bayi hasil pernikahan sepupu tingkat pertama memiliki risiko dua kali lipat mengalami kelainan bawaan dibandingkan bayi dari pasangan yang tidak sedarah.
Lebih lanjut, Bimbinov mencatat bahwa dalam kasus inses ekstrem seperti antara ayah-anak perempuan atau ibu-anak laki-laki, peluang anak menderita kelainan bawaan bisa mencapai 25%. Sementara pada kasus seperti kakek-cucu atau paman-keponakan, risiko tetap tinggi di atas 12,5%.
Di beberapa wilayah seperti Lebanon dan Palestina, tingkat kejadian penyakit seperti bibir sumbing dan hidrosefalus terbukti lebih tinggi di antara anak-anak dari pasangan sedarah.
Berikut ini adalah beberapa jenis penyakit dan kelainan yang berisiko tinggi dialami anak hasil hubungan sedarah:
- Cacat jantung bawaan
- Bibir sumbing
- Hidrosefalus (penumpukan cairan di otak)
- Kelainan tabung saraf
- Gangguan perkembangan otak dan mental
- Penyakit metabolik turunan seperti fenilketonuria dan Tay-Sachs
Anak-anak hasil inses lebih rentan mengalami gangguan metabolisme, sistem imun yang lemah, serta gangguan kognitif yang bisa memengaruhi kemampuan belajar dan fungsi sosial mereka sepanjang hidup.
Efek Sosial dan Psikologis
Selain dari sisi medis, inses juga menimbulkan trauma psikologis jangka panjang, khususnya jika melibatkan anak-anak. Polri telah menunjukkan bagaimana pelaku inses sering menggunakan teknik "grooming" untuk memanipulasi korban hingga tidak sadar bahwa mereka sedang dilecehkan.
"Karena adanya keterbatasan pengetahuan, sebagaimana kita ketahui tadi dari empat korbannya, tiga anak-anak, jadi mereka tidak tahu apakah itu dilakukan pelecehan atau pencabulan," jelas Brigjen Nurul Azizah, 22 Mei 2025.
Dampak psikologis dari pelecehan semacam ini mencakup depresi, PTSD (post-traumatic stress disorder), hingga kecenderungan untuk mengulangi pola kekerasan dalam relasi dewasa mereka.
Dari aspek genetik, medis, hingga sosial, hubungan sedarah terbukti membawa lebih banyak mudarat daripada manfaat. Banyak negara, termasuk Indonesia, menjerat pelaku inses dengan hukuman pidana berat.
Namun pencegahan tidak cukup dengan hukum semata—pendidikan publik, pemahaman agama, dan kesadaran kesehatan harus menjadi garda terdepan dalam melindungi generasi mendatang.
Inses bukan hanya pelanggaran norma, tetapi juga serangan terhadap martabat, akal sehat, dan masa depan umat manusia.