Mursyita, Guru di SLB Negeri Aneuk Nanggroe Lhokseumawe. Dokumentasi/ Istimewa
Fajri Fatmawati • 21 November 2025 13:19
Dalam kesunyian, tangan-tangan mungil itu bergerak lincah, menari dalam bahasa isyarat yang penuh makna. Mursyita, sang guru memandang dengan bangga, matanya menangkap setiap kata yang diucapkan jari-jari muridnya.
Ruang kelas di SLB Negeri Aneuk Nanggroe Lhokseumawe adalah duniany. Sebuah tempat di mana ia dengan sabar membangun jembatan antara keheningan yang dialami anak-anak tunarungu dengan dunia nyata yang penuh suara.
Sebagai guru di SLB Negeri Aneuk Nanggroe Lhokseumawe, ia tidak hanya mengisi kepala siswa-siswanya yang memiliki hambatan pendengaran dengan ilmu. Namun, ia juga membekali mereka dengan nyali untuk hidup mandiri dan dihargai.
“Setiap anak tunarungu punya potensi luar biasa. Tugas kami adalah membuka jalan agar mereka dapat berdiri mandiri, percaya diri, dan dihargai,” kata Mursyita, Jumat, 21 November 2025.
Kunci dari segala proses pembelajaran itu, menurut Mursyita, adalah kesabaran dan pendekatan visual. Metode individual dan pembelajaran berbasis praktik menjadi senjata ampuh untuk menumbuhkan kepercayaan diri melalui latihan yang berulang agar membangun fondasi kemandirian yang kokoh sejak dini.
"Kami bukan hanya mengajar, tapi juga menjadi jembatan agar mereka diterima di masyarakat," ujar Mursyita.
Lebih dari sekadar teori, Mursyita memfokuskan pendidikannya pada pembentukan kemandirian dan kesiapan kerja (karmaja). Ia meyakini bahwa keterampilan vokasional sederhana dapat menjadi modal berharga untuk membantu siswa memasuki
dunia kerja.
“Karmaja bukan hanya teori. Kami benar-benar melihat bagaimana keterampilan sederhana bisa mengubah masa depan anak,” ungkap Mursyita.
Mursyita, Guru di SLB Negeri Aneuk Nanggroe Lhokseumawe. Dokumentasi/ Istimewa
Perjuangan dan dedikasinya itu akhirnya membawanya ke panggung yang lebih luas. Pada peringatan Hari Guru Nasional 2025, Mursyita terpilih sebagai perwakilan dalam Program GTK Dedikatif untuk kategori Guru SLB. Sebuah apresiasi yang mempertemukan para pendidik terbaik
Aceh untuk memamerkan dedikasi dan praktik baik mereka dalam dunia pendidikan khusus.
Dalam ajang tersebut, Mursyita menampilkan cerita nyata dari lapangan yang penuh tantangan. Mulai dari keterbatasan fasilitas, kendala komunikasi yang kompleks, hingga lingkungan sosial yang belum sepenuhnya inklusif terhadap penyandang disabilitas. Semua rintangan itu tidak lantas mematahkan semangatnya, justru memicu kreativitasnya dalam membimbing setiap anak.
Partisipasinya dalam Apresiasi GTK 2025 bukan sekadar penghargaan individu, melainkan simbol harapan baru bagi pendidikan luar biasa di Aceh. “Saya hanya salah satu dari banyak guru hebat di Aceh. Saya berdiri di sini membawa semangat kami bersama,” tutur Mursyita.
Pemerintah Aceh melalui Dinas Pendidikan menyambut baik pencapaian ini. Mereka menilai figur seperti Mursyita membuktikan peran vital pendidikan luar biasa dalam menciptakan generasi mandiri dan berkarakter. Ke depan, Apresiasi GTK 2025 diharapkan dapat terus memperkuat semangat para guru untuk terus berkarya serta meningkatkan layanan pendidikan inklusif di Aceh.