Masyarakat Sipil Didorong Jadi Pilar Stabilitas di Tengah Gejolak Global

Sesi Civil Societies as a Force for Stability and Progress in an Increasingly Turbulent World dalam Global Town Hall, Sabtu, 15 November 2025. (YouTube / FPCI)

Masyarakat Sipil Didorong Jadi Pilar Stabilitas di Tengah Gejolak Global

Willy Haryono • 15 November 2025 16:15

Jakarta: Masyarakat sipil dan demokrasi global menghadapi berbagai tantangan besar di tengah menguatnya otoritarianisme, polarisasi politik, dan penyempitan ruang kebebasan. Hal ini dibahas dalam Global Town Hall 2025 sesi "Civil Societies as a Force for Stability and Progress in an Increasingly Turbulent World" yang digelar secara virtual oleh FPCI dan Global Citizen pada Sabtu, 15 November 2025.

Justin Vaisse, Founder dan Director General Paris Peace Forum, membuka diskusi dengan menggambarkan siklus sejarah naik-turunnya demokrasi dan ruang gerak masyarakat sipil. Ia menilai 10–15 tahun terakhir ditandai kemunduran demokrasi secara global, baik di rezim otoriter maupun di negara demokrasi yang kini bergerak menuju illiberalism. “Kita hidup dalam masa yang sulit, dengan kecenderungan otoritarian yang meningkat di berbagai kawasan,” ujarnya.

Vaisse menjelaskan temuannya dari Paris Peace Forum edisi terbaru yang digelar pada akhir Oktober. Menurutnya, dua faktor utama menggerus demokrasi: meningkatnya ketimpangan sosial-ekonomi dan penyempitan ruang digital yang semakin dikuasai segelintir aktor atau pemerintah. Untuk memperkuat kembali civic space, ia menekankan pentingnya media independen.

Di forum tersebut, International Fund for Public Interest Media (IFPIM) menerima komitmen dana baru sebesar 10 juta euro dari Prancis dan dukungan negara lain. Ghana menjadi negara Afrika pertama yang menyatakan dukungan terhadap IFPIM.

“Tanpa kebenaran bersama, sangat sulit mendorong masyarakat melawan kecenderungan otoritarian,” tegasnya.

Dari sisi organisasi masyarakat sipil global, Arthur Larok, Secretary General ActionAid International, memaparkan tiga tren besar yang memengaruhi dinamika masyarakat sipil. Tren pertama, yang disebutnya mengkhawatirkan, adalah kecenderungan banyak organisasi untuk sekadar bertahan hidup di tengah meningkatnya tekanan, keterbatasan dana, dan maraknya serangan digital. Ia menyebut laporan NetHope 2025 yang menunjukkan bahwa sektor nirlaba menjadi sektor keempat yang paling banyak diserang, sementara laporan lain mencatat kenaikan serangan siber hingga 241%.

“Akibatnya, kita lebih banyak menyesuaikan diri untuk bertahan, bukan mendorong perubahan,” ujar Arthur.

Tren kedua, yang menurut Larok lebih menjanjikan, adalah munculnya gerakan masyarakat sipil non-tradisional yang digerakkan oleh anak muda di berbagai negara seperti Kenya, Madagaskar, Bangladesh, dan Nepal. Mereka tidak selalu terstruktur dalam bentuk organisasi formal, namun justru memperluas ruang demokrasi melalui aksi protes dan mobilisasi akar rumput. Ia menyebut fenomena ini sebagai respons terhadap kekecewaan pada civil society yang mapan maupun sistem pemerintahan.

Tren ketiga berada di tengah-tengah: organisasi formal seperti ActionAid kini berupaya bertransformasi agar lebih selaras dengan gerakan masyarakat, terutama kelompok muda yang berani menantang sistem. Namun Larok mengingatkan bahwa banyak organisasi masyarakat sipil justru menjadi bagian dari sistem yang ingin mereka ubah.

“Jika kita hanya mengadopsi strategi bertahan hidup, seperti mengurangi program, menyesuaikan bahasa, atau sekadar diversifikasi dana, itu tidak akan menyelesaikan akar masalah,” tegasnya. Arthur menekankan perlunya transformasi agar civil society tidak selamanya berada dalam posisi reaktif.

Baca juga:  Anwar Ibrahim Serukan Restorasi Tatanan Global Berbasis Keadilan di GTH 2025

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Willy Haryono)