Beaton Coffee Cultural Park. Foto: Dok. NasDem.
Fachri Audhia Hafiez • 17 November 2025 12:34
Longyang, Baoshan: Tidak banyak yang mengetahui bahwa salah satu pusat kopi tertua di Tiongkok berada di jantung Baoshan, Yunnan. Wilayah ini telah menanam kopi sejak lebih dari seabad lalu, jauh sebelum industri kopi modern tumbuh pesat.
Di sinilah Beaton Coffee Cultural Park berdiri sebagai kawasan terpadu yang menggabungkan sejarah kopi, budaya masyarakat Gaoligong, inovasi agrikultur, dan pariwisata edukatif dalam satu ekosistem berkelanjutan.
Kawasan ini bukan sekadar kebun kopi atau tempat sangrai. Beaton menampilkan bagaimana kopi dapat menjadi identitas budaya, penggerak ekonomi lokal, sekaligus instrumen revitalisasi pedesaan.
Dari museum mini, pusat edukasi “seed-to-cup”, roasting lab, hingga zona experiential learning, Beaton menunjukkan bagaimana sebuah komoditas bisa melahirkan ekosistem sosial-ekonomi yang modern dan inklusif.
Ketua Delegasi, Rio Okto Mendrino Waas, menilai bahwa model pengembangan di Beaton sangat relevan bagi Indonesia.
“Yang paling menarik dari Beaton adalah bagaimana kopi tidak diperlakukan hanya sebagai komoditas, tetapi sebagai ekosistem. Petani terhubung ke industri, industri terhubung ke pariwisata, dan semuanya ditautkan dengan identitas budaya. Indonesia sangat mungkin mengadopsi model sekomprehensif ini,” ujar Rio dikutip dari keterangan tertulis, Senin, 17 November 2025.
Masuk pada dimensi budaya dan ekologi, Staf Khusus Ketua Umum
Partai NasDem sekaligus putra asli Kabupaten Ngada, NTT, Damianus Bilo, melihat persamaan fundamental antara Beaton dan kopi Bajawa.
“Sebagai orang Ngada, saya langsung melihat kemiripan Beaton dengan Bajawa. Keduanya tumbuh di dataran tinggi vulkanik, dengan topografi pegunungan yang mirip, kontur tanah kaya mineral, serta iklim sejuk-kering yang sangat ideal untuk kopi Arabica. Bahkan pola cuacanya serupa, kabut pagi, matahari lembut di siang hari, dan suhu malam yang turun drastis,” jelas Damianus.
Beaton Coffee Cultural Park. Foto: Dok. NasDem.
Damianus menegaskan bahwa kesamaan geografis dan ekologis itu membuat karakter rasa kopi Beaton dan Bajawa tumbuh dari fondasi yang hampir sama.
“Persamaan tanah dan cuaca itulah yang melahirkan karakter kopi yang bersih, floral, dan berbody seimbang baik di Beaton maupun Bajawa. Yang membedakan hanyalah tingkat industrialisasi. Beaton sudah masuk pada ekosistem terpadu: pengolahan modern, quality control, pariwisata kopi, hingga branding budaya,” tambah Damianus.
Menurut Damianus, jika Bajawa mengembangkan pendekatan terpadu seperti Beaton, maka kopi Indonesia Timur dapat melompat menjadi ikon global.
“Dengan kemiripan ekologis dan kekuatan budaya, Bajawa punya peluang besar. Kalau dibuat pusat edukasi, traceability modern, museum kopi, dan integrasi UMKM seperti Beaton, Bajawa bisa menjadi pusat kopi dunia versi Indonesia,” tegas Damianus.
Sementara itu, anggota delegasi NasDem dari Kota Cirebon, Laurentia Mellynda, melihat potensi penerapan model serupa di daerahnya.
“Satu komoditas saja jika dikelola dengan ekosistem seperti Beaton bisa menggerakkan banyak rantai ekonomi seperti kuliner, edukasi, kerajinan, hingga hospitality. Ini sangat mungkin diterapkan pada UMKM dan sektor kreatif di Kota Cirebon,” ujar Laurentia.
Kunjungan ke Beaton Coffee Cultural Park memperlihatkan bahwa pembangunan ekonomi daerah dapat tumbuh pesat ketika komoditas lokal, budaya, inovasi, dan pariwisata digerakkan bersama. Model Beaton menjadi rujukan penting bagi Indonesia, terutama dalam merancang ekosistem UMKM, agrikultur bernilai tinggi, dan pariwisata berbasis identitas lokal.
Kunjungan ini merupakan bagian dari rangkaian agenda Delegasi NasDem dan ASEAN di Tiongkok pada 12-19 November, difasilitasi oleh International Department of the Communist Party of China (IDCPC).