Hakim Blokir Rencana Elon Musk Memangkas Massal Pegawai Pemerintah AS

Elon Musk saat pelantikan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat. Foto: The New York Times

Hakim Blokir Rencana Elon Musk Memangkas Massal Pegawai Pemerintah AS

Fajar Nugraha • 7 February 2025 19:05

Boston: Hakim federal di Massachusetts, Amerika Serikat (AS) pada Kamis 6 Februari 2025 memutuskan untuk menunda sementara skema pemangkasan besar-besaran pegawai pemerintah Amerika Serikat yang digagas oleh miliarder Elon Musk.

Program tersebut mendorong lebih dari dua juta pegawai federal untuk mengundurkan diri dengan pesangon delapan bulan gaji, dengan ancaman pemecatan jika menolak.

Awalnya, batas waktu pengunduran diri sukarela ditetapkan hingga Kamis tengah malam, namun kini diperpanjang hingga Senin mendatang, saat Hakim Distrik AS George O'Toole akan menggelar sidang guna mengevaluasi gugatan yang diajukan oleh serikat pekerja.

Melansir dari TRT World, Jumat 7 Februari 2025, Musk, yang dikenal sebagai orang terkaya di dunia sekaligus donor terbesar Presiden Donald Trump, ditunjuk untuk memimpin Departemen Efisiensi Pemerintahan (DOGE). Lembaga ini memiliki mandat untuk merampingkan berbagai lembaga federal dalam skala besar.

Menurut Juru Bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, sejauh ini sekitar 40.000 pegawai telah menerima tawaran pesangon tersebut—jumlah yang masih tergolong kecil dibandingkan total pegawai pemerintah yang mencapai lebih dari dua juta orang.


Kontroversi dan Perlawanan dari Serikat Pekerja

Rencana ini mendapat tentangan keras dari serikat pekerja yang mewakili sekitar 800.000 pegawai federal serta anggota Kongres dari Partai Demokrat. Mereka menentang ancaman pemecatan terhadap pegawai yang menolak untuk mengundurkan diri.

Dampak dari kebijakan ini telah dirasakan di berbagai lembaga pemerintahan. Salah satu yang paling terdampak adalah USAID, badan yang bertanggung jawab atas distribusi bantuan luar negeri. Banyak stafnya yang berbasis di luar negeri telah dipulangkan, sementara program-programnya dikritik secara terbuka oleh Gedung Putih dan media konservatif sebagai bentuk pemborosan anggaran.

Selain itu, Trump telah berulang kali menyatakan keinginannya untuk menutup Departemen Pendidikan. Bahkan, skema pemutusan hubungan kerja ini juga ditawarkan kepada pegawai CIA.

Sebagai bagian dari strategi perampingan, seorang pejabat di badan pengelola properti pemerintah menyebut bahwa portofolio aset negara, kecuali bangunan milik Departemen Pertahanan, harus dikurangi setidaknya 50 persen.

Juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, membela kebijakan ini dengan mengatakan bahwa pegawai federal sebaiknya menerima tawaran yang disebutnya "sangat menguntungkan." Ia juga menegaskan bahwa pemerintah akan mencari pengganti yang "kompeten" untuk mereka yang menolak dan "terus merugikan rakyat Amerika."


Akses Musk ke Data Rahasia Pemerintah Jadi Sorotan

Selain menuai kritik terkait pemangkasan pegawai, kebijakan ini juga memunculkan kekhawatiran atas akses Musk terhadap data rahasia pemerintah, termasuk sistem pembayaran Departemen Keuangan AS.

Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, dalam wawancara dengan Bloomberg TV pada Kamis, menegaskan bahwa kekhawatiran tersebut berlebihan.

Ia menjelaskan bahwa hanya dua pegawai Departemen Keuangan yang bekerja sama dengan Musk yang memiliki akses terhadap data tersebut, dan akses mereka bersifat "read-only" alias hanya untuk membaca, tanpa bisa melakukan perubahan apa pun.


Ketidakpastian bagi pegawai pemerintah

Banyak pegawai federal yang mempertimbangkan tawaran pesangon ini masih diliputi ketidakpastian. Salah satu pertanyaan utama adalah apakah Trump memiliki kewenangan hukum untuk menawarkan paket pengunduran diri tersebut, serta apakah pemerintah akan benar-benar memenuhi janji pembayaran pesangon.

Skema ini pertama kali diumumkan melalui email massal kepada sebagian besar pegawai pemerintah dengan judul "Fork in the Road", frasa yang sama yang digunakan Musk saat mengambil alih Twitter pada 2022 dan mengganti namanya menjadi X.

Musk mempromosikan program ini sebagai kesempatan bagi pegawai untuk "mengambil liburan yang selalu mereka impikan, atau sekadar bersantai sambil tetap menerima gaji dan tunjangan penuh dari pemerintah."

Namun, serikat pekerja memperingatkan bahwa tanpa persetujuan dari Kongres mengenai penggunaan anggaran federal, janji pesangon ini mungkin tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

Everett Kelley, Presiden Federasi Pegawai Pemerintah Amerika (AFGE), mengecam kebijakan ini sebagai upaya manipulatif oleh kelompok miliarder dan para pendukungnya.

"Karyawan federal tidak boleh tertipu oleh retorika manis dari miliarder yang tidak terpilih dan para anteknya," kata Kelley.


"Skema pengunduran diri ini tidak memiliki dana, tidak sah secara hukum, dan tanpa jaminan. Kami tidak akan tinggal diam dan membiarkan anggota kami menjadi korban dari penipuan ini,” ucap Kelley.

Gugatan yang diajukan ke Pengadilan Massachusetts juga mempertanyakan klaim bahwa pegawai yang menerima tawaran pengunduran diri tetap bisa mencari pekerjaan lain selama masa transisi, mengingat adanya aturan etika yang berlaku bagi pegawai federal.

Seorang pegawai di Kantor Manajemen Personalia AS, yang meminta identitasnya dirahasiakan, mengatakan bahwa strategi utama dari kebijakan ini adalah menciptakan kepanikan di kalangan pegawai pemerintah.

"Kami ingin menanamkan rasa panik agar orang-orang keluar begitu saja dan meninggalkan pemerintahan dalam keadaan lumpuh—dan itu memang salah satu tujuan mereka," pungkas Kelley.

(Muhammad Reyhansyah)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Fajar Nugraha)