Ojek online. Foto: MI/Bary Fathahillah.
M Ilham Ramadhan Avisena • 1 July 2025 11:23
Jakarta: Rencana pemerintah menaikkan tarif ojek daring (ojol) sebesar delapan persen sampai 15 persen dinilai belum menjawab persoalan utama dalam ekosistem transportasi digital. Kebijakan itu disebut hanya memberi tambahan penghasilan yang tidak signifikan bagi pengemudi, namun justru berisiko membebani penumpang dan secara otomatis menguntungkan aplikator.
Simulasi Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) menunjukkan, dengan asumsi 10 perjalanan per hari masing-masing sejauh lima kilometer dan tarif dasar Rp2.500 per kilometer, pengemudi ojol memperoleh pendapatan kotor sekitar Rp125 ribu per hari. Namun, dengan adanya potongan 20 persen dari aplikator, penghasilan bersih yang dibawa pulang pengemudi hanya sekitar Rp100 ribu per hari.
Ketika pemerintah berencana menaikkan tarif ojol sebesar delapan persen hingga 15 persen, maka tarif per kilometer akan naik menjadi sekitar Rp2.700 hingga Rp2.875. Jika dihitung ulang, dengan jarak tempuh yang sama (50 km), maka pendapatan kotor harian akan meningkat menjadi Rp135 ribu pada skenario kenaikan delapan persen, dan Rp143.750 pada skenario kenaikan 15 persen.
Setelah dipotong 20 persen oleh aplikator, maka pengemudi akan membawa pulang sekitar Rp108 ribu hingga Rp115 ribu per hari. Dengan demikian kenaikan pendapatan bersih harian pengemudi ojol hanya berkisar antara Rp8.000 hingga Rp15 ribu.
"Dalam kondisi sosial-ekonomi yang semakin sulit harga kebutuhan pokok naik, biaya hidup di kota besar terus membengkak tambahan pendapatan sebesar Rp8.000 sampai Rp15 ribu per hari dari kenaikan tarif ojol memang terasa tidak signifikan," ungkap peneliti IDEAS Muhammad Anwar dikutip dari keterangan tertulis, Selasa, 1 Juli 2025.
Anwar menambahkan, bagi pengemudi yang harus menanggung sendiri biaya operasional harian seperti bensin, servis motor, kuota internet, dan makan, tambahan tersebut bisa langsung tergerus tanpa terasa menjadi peningkatan kesejahteraan yang nyata.
Lebih jauh lagi, kebijakan kenaikan tarif ini justru bisa dilihat sebagai pengalihan beban dari aplikator ke konsumen, tanpa menyentuh akar tuntutan pengemudi yang sejak lama meminta penurunan potongan komisi, sistem insentif yang transparan, serta perlindungan kerja layaknya sektor formal.
"Alih-alih mengatur ulang pembagian hasil atau memberlakukan batas maksimal potongan aplikator, pemerintah justru menaikkan tarif, yang pada akhirnya juga menguntungkan aplikator, karena potongan 20 persen mereka tetap dihitung dari tarif yang kini lebih tinggi," ujar Anwar.
Dia menjelaskan, ketika tarif naik, pengemudi mendapat tambahan, tetapi aplikator pun kecipratan penghasilan tambahan secara otomatis. Misalnya, dari total pendapatan kotor Rp135 ribu (tarif naik delapan persen), aplikator langsung mendapatkan Rp27 ribu (20 persen potongan), lebih besar dari sebelumnya (Rp25 ribu).
Baca juga: Kemenhub Berencana Atur Besaran Tarif Ojol Berdasakan Zona |