Ilustrasi KJP. Foto: MI/Atet Dwi Pramadia.
Mohamad Farhan Zhuhri • 16 December 2024 18:12
Jakarta: Badan Pendapatan Daerah (Bapeda) Jakarta mengungkap sejumlah alasan warga tidak bisa mendapat Kartu Jakarta Pintar (KJP). Salah satunya, dikarenakan warga menjual data mereka untuk menjadi pemilik aset atau barang mewah.
"Jadi kenapa dia (warga) enggak punya motor, enggak punya mobil tapi enggak bisa dapat KJP. Beberapa tahun lalu kami pernah melakukan penagihan door to door terhadap mobil mewah jenis sport," kata Wakil Kepala Bapenda Provinsi DKI Jakarta Elvarinsa dalam rapat bersama Komisi E DPRD Jakarta, Senin, 16 Desember 2024.
Elvarinsa menjelaskan kasus tersebut ditemukan beberapa waktu lalu. Bapeda mendatangi alamat kartu tanda penduduk (KTP) pemilik barang mewah yang tidak membayar pajak.
Ternyata, kata Elvarinsa, data pemilik kendaraan tersebut berada di gang sempit. Petugas pun menanyakan alasan mereka menjual data untuk kepemilikan barang mewah.
"Setelah kami tanya 'kenapa Bapak memberikan KTP Bapak?', dia jawab karena dikasih duit Rp 2 juta, ada yang Rp 2,5 juta. Nah itu kita melihatnya agak miris dari fenomena yang ada," imbuh dia.
Menurut dia, pemilik asli itu sengaja membayar KTP warga untuk mencegah pajak progresif. Menurut dia, nilai pajak progresif bagi kendaraan kelima bisa mencapai enam persen.
"Mobil pertama kalau harganya Rp3 miliar, itu PKB nya Rp60 juta, kalau mobil kelima itu kena enam persen bisa jadi Rp 180 juta. Jadi warga Jakarta yang punya mobil mewah untuk menghindari pajak progresif dengan menggunakan KTP orang lain," jelas Elvarinsa.
Di sisi lain, ada juga pemohon bansos yang gagal mendapatkan KJP dan KJMU karena sanak familinya yang ikut menumpang di kartu keluarga (KK). Pihak tersebut rupanya memiliki kendaraan bermotor.
Diketahui, kepemilikan kendaraan itu bisa terekam dengan NIK dan Nomor KK yang bersangkutan. "Jadi dalam satu KK tersebut ada anaknya lima dan keponakan masuk, mungkin salah satu punya motor satu, dua dan tiga. Itu bisa terekam karena dasar kami adalah NIK," sebut dia.
Dia mengakui, Bapenda memang turut andil membantu Disdik dalam pemadanan data KJP Plus dan KJMU. Pemadanan data dilakukan terkait kepemilikan kendaraan bermotor lewat pajak kendaraan bermotor (PKB), sedangkan tanah dan bangunan lewat pajak bumi dan bangunan (PBB).
"Kami sudah bersurat delapan kali di bulan Maret, April, Juni, Agustus, September, Oktober dan November ke Dinas Pendidikan perihal pemadanan data terkait dengan data PBB dan PKB," ujar Elvarinsa.
Menurut dia, pemadanan data itu dilakukan melalui NIK dan KK. Kemudian data-data yang telah diperiksa itu diberikan kembali kepada UPT Pusat Pelayanan Pendanaan Personal dan Operasional Pendidikan (P4OP) Disdik untuk dijadikan acuan soal kepemilikan aset.
"Dari seluruh jenis pajak, server kami yang masih dikuasai oleh Diskominfotik itu adalah PKB pak. Kemudian Bapenda melakukan pemadanan terkait PBB dan PKB, surat hasil rekomendasi itu dikirik ke Disdik melalui P4OP," pungkas Elvarinsa.
Dari rapat itu terungkap, dari data 669.716 telah dilakukan penyesuaian anggaran, hanya 523.622 meng-cover jumlah penerima KJP Plus maksimal. Namun, diperlukan seleksi secara prioritas menggunakan data pemeringkatan kesejahteraan atau desil dari data Regsosek.
Plt Kepala Disdik DKI Jakarta Sarjoko memastikan akan melakukan verifikasi ulang terkait pencabutan penerima KJP Plus. Hal itu akan dilakukan dengan menyesuaikan hasil penetapan pagu anggaran pemadanan data dan verifikasi pendaftar KJP Plus tahap II Tahun 2024.
Bahkan, kata Sarjoko selama ini Disdik telah melakukan pendataan dari tahap sinkronisasi mulai dari data kependudukan, verifikasi oleh pihak sekolah, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), hingga data dari Badan Pendapatan Daerah (Bapenda).
“Sesungguhnya kita inginnya semua harus tepat sasaran tetapi kalau ada kondisi-kondisi di lapangan ternyata tidak sesuai dengan faktual untuk itu menjadi informasi yang baru yang perlu kita verifikasi ulang,” pungkasnya.