Ilustrasi. Foto: dok MI.
Husen Miftahudin • 31 October 2023 15:53
Jakarta: Nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan hari ini kembali mengalami penguatan, setelah dalam beberapa pekan mata uang Garuda tersebut dibombardir dolar Amerika Serikat (AS).
Mengutip data Bloomberg, Selasa, 31 Oktober 2023, nilai tukar rupiah terhadap USD ditutup di level Rp15.884 per USD. Mata uang Garuda tersebut naik tipis lima poin atau setara 0,03 persen dari posisi Rp15.890 per USD pada penutupan perdagangan hari sebelumnya.
"Pada penutupan pasar sore ini, mata uang rupiah ditutup menguat lima poin walaupun sebelumnya sempat melemah 20 poin di level Rp15.884 per USD dari penutupan sebelumnya di level Rp15.890 per USD," kata analis pasar uang Ibrahim Assuaibi dalam analisis harian.
Sementara itu, data Yahoo Finance juga menunjukkan rupiah berada di zona hijau pada posisi Rp15.880 per USD. Rupiah menguat empat poin atau setara 0,02 persen dari Rp15.884 per USD di penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Sedangkan berdasar pada data kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah berada di level Rp15.897 per USD. Mata uang Garuda tersebut naik 19 poin dari perdagangan di hari sebelumnya di level Rp15.916 per USD.
Baca juga: Rupiah Menguat ke Level Rp15.875/USD
Stabilitas sektor keuangan RI direspons positif
Ibrahim mengungkapkan, penguatan rupiah pada perdagangan hari ini utamanya disebabkan oleh respons positif para pelaku pasar keuangan setelah mencermati sektor keuangan Indonesia yang tetap stabil dan mampu menghadapi di tengah gejolak global, seperti meningkatnya suku bunga tinggi di AS yang berkepanjangan dan tensi geopolitik yang memanas.
"Tetap stabilnya sektor jasa keuangan didorong dari mampunya Indonesia dalam memitigasi dari ketidakpastian global," papar dia.
Terjaganya permodalan yang kuat, kondisi likuiditas yang memadai, dan profil risiko yang terjaga meningkatkan optimisme sektor jasa keuangan mampu memitigasi risiko dari meningkatnya ketidakpastian global baik dari terminologi higher for longer suku bunga global maupun tensi geopolitik.
Dari tensi geopolitik, jelas dia, memanasnya konflik Israel dan Hamas yang berpotensi mempengaruhi
ekonomi dunia secara signifikan terutama jika terjadi eskalasi di Timur Tengah yang lebih luas.
Kemudian membaiknya pasar tenaga kerja dan inflasi yang tetap persisten tinggi di Amerika Serikat (AS), telah mendorong meningkatnya aksi jual (share off) pasar obligasi di salah satu negara ekonomi terkuat dunia tersebut.
Kenaikan hasil obligasi AS (
yield US Treasury) telah meningkatkan keluarnya modal dari pasar negara berkembang (emerging market) termasuk Indonesia dalam mendorong pelemahan pada nilai tukar dan pasar obligasi yang signifikan.
"Di Eropa kinerja ekonomi diprediksi masih mengalami stagflasi. Sedangkan di Tiongkok pemulihan ekonomi masih belum sesuai harapan dan kinerja ekonomi yang masih di level pandemi. Tentunya ini akan meningkatkan kekhawatiran bagi pemulihan perekonomian global," terang Ibrahim.
Sementara, ungkap dia, tingkat inflasi Indonesia juga tercatat sebesar 2,28 persen secara tahunan (yoy) atau sejalan dengan ekspektasi pasar 2,2 persen (yoy).
"Namun secara umum, daya beli masyarakat masih tertekan yang terlihat dari inflasi inti yang kembali turun, serta penurunan indeks kepercayaan konsumen dan kinerja penjualan ritel yang rendah," tutup Ibrahim.