Ilustrasi judi online (judol). Foto: Duta/Media Indonesia (MI).
BERITA tentang seorang pelajar sekolah menengah pertama (SMP) di Kabupaten Kulon Progo, DIY, kecanduan judi daring atau judi online (judol) sungguh membuat dada sesak. Terlebih, pelajar yang diketahui berasal dari keluarga tidak mampu itu kemudian terjerat oleh pinjaman online (pinjol).
Fakta itu mempresentasikan banyak kegagalan. Pertama, kegagalan negara menghadang penetrasi judol yang dalam beberapa tahun ini teramat kuat. Kedua, kegagalan sistem pendidikan, terutama dalam hal pendidikan karakter dan budi pekerti. Ketiga, ketidakmaksimalan pemerintah memberdayakan ekonomi masyarakat miskin sehingga mereka memilih 'lari' mencari peruntungan lewat judol.
Sebaran racun judol memang mengerikan. Alih-alih berkurang, praktik
judi yang dilakukan melalui platform digital itu semakin hari justru semakin meracuni masyarakat. Apa yang terjadi di Kulon Progo itu membuktikan bahwa penetrasi judol mampu menyasar ke segala arah. Dari masyarakat kecil hingga kaum elite terjangkit. Hampir semua kelas usia, dari anak-anak sampai lanjut usia, pun ikut terpapar judol.
Yang paling memprihatinkan tentu saja sebarannya ke anak dan remaja. Data Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) pada November 2024 menyebutkan bahwa sebanyak 200 ribu anak usia di bawah 19 tahun telah terpapar judol. Lebih mengenaskan lagi, dari jumlah tersebut, 80 ribu di antaranya jalah anak di bawah usia 10 tahun.
Hasil temuan
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) semakin menguatkan hal itu. Data kuartal I 2025 yang dikumpulkan PPATK menunjukkan bahwa jumlah deposit judol yang dilakukan oleh pemain berusia 10-16 tahun sebesar lebih dari Rp2,2 miliar dan usia 17-19 tahun mencapai Rp47,9 miliar. Angka fantastis yang sangat membuat miris.
Betul, pemerintah sudah melakukan sejumlah langkah untuk menghadang laju paparan judol. Akan tetapi, harus diakui, mereka kerap kehilangan fokus dalam menangani penyakit masyarakat itu. Ketika terungkap sebuah kasus yang menjadi perhatian publik, penanganannya heboh. Namun, begitu atensi publik berkurang, gerakan mereka juga ikut menyurut. Ramai sebentar dalam satu momentum, tapi beringsut sepi setelah momentumnya hilang.
Pemerintah bahkan pernah membentuk Satgas Pemberantasan Judi Daring, tapi nyatanya sama saja. Pemberantasan judol tak pernah tuntas. Pemain-pemainnya disapu, tapi pucuk pengendalinya tidak terjamah. Alhasil, seperti halnya korupsi, judol tak mati-mati. Satu platform dibunuh, puluhan bahkan ratusan platform baru bermunculan. Satu akun diblokir, 1.000 akun baru dihidupkan.
Ilustrasi judi online (judol). Foto: Dok. Media Indonesia.
Terus saja seperti itu hingga semakin banyak orang melarat karena judol, semakin kerap kriminalitas terjadi yang dipicu judol, semakin banyak pula generasi muda yang rusak gara-gara judol. Dalam situasi seperti ini, sungguh zalim bila pemerintah dan negara tidak bertindak lebih fokus dan serius dalam pemberantasan judol.
Tanpa intervensi yang konkret dari negara, gurita perjudian daring tidak akan terbendung. PPATK pernah memperkirakan perputaran uang judol bisa mencapai Rp1.200 triliun pada akhir 2025 bila pemerintah luput melakukan intervensi. Itu artinya tanpa regulasi digital yang rigid dan penegakan hukum tegas, tinggal tunggu waktu saja korban dari masyarakat, termasuk anak dan remaja bakal kian berjatuhan.
Di sisi yang lain, serbuan judol juga tidak mampu ditahan oleh benteng ekonomi dan benteng pendidikan karena keduanya sama-sama rapuh. Baik sistem ekonomi maupun sistem pendidikan di negeri ini tak sepenuhnya efektif dalam memberikan perlindungan nyata kepada masyarakat dari jahatnya racun judol.
Karena itu, negara tidak hanya dituntut segera menghentikan karut-marut pemberantasan judol yang justru kerap membuat kejahatan itu semakin mengakar dan mudah menyebar. Negara juga punya pekerjaan besar untuk menguatkan benteng pendidikan dan ekonomi masyarakat sehingga masyarakat punya pertahanan diri untuk membendung serangan judol.