Ilustrasi. Foto: dok Istimewa.
Jakarta: Harga bitcoin (BTC) kembali menunjukkan performa impresif dengan menembus level USD110 ribu atau setara Rp1,79 miliar (kurs Rp16.278/USD) pada 10 Juni 2025, dimana sebelumnya sempat terkoreksi hingga di bawah USD101 ribu pada 5 Juni lalu.
Kenaikan ini menandai penguatan hampir sembilan persen dalam sepekan terakhir dan menempatkan bitcoin hanya sekitar dua persen dari rekor harga tertingginya di lebih dari USD111 ribu yang dicetak pada Mei lalu.
Kenaikan harga ini terjadi di tengah sentimen positif dari pasar global, khususnya perkembangan hubungan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang kembali menunjukkan tanda-tanda positif dan meredanya ketegangan. Investor global pun merespons potensi kesepakatan dagang baru yang berimbas pada aset berisiko seperti kripto.
"Bitcoin kini tak lagi berada di bagian terpinggirkan dari sistem keuangan global, aset digital tersebut sudah menjadi bagian dari percakapan inti antara pemerintah, pelaku industri, dan lembaga-lembaga keuangan besar. Lonjakan harga ke level USD110 ribu mencerminkan pasar melihat bitcoin bukan hanya sebagai aset alternatif, tetapi sebagai komponen strategis dalam bagian ekonomi digital yang baru," kata Vice President Marketing Indodax Antony Kusuma, dikutip dari keterangan tertulis, Rabu, 11 Juni 2025.
Di pasar domestik, lanjut dia menjelaskan, lonjakan harga bitcoin ini juga berpengaruh terhadap kenaikan volume. Hal ini ditunjukkan dari antusiasme investor ritel Indonesia kembali menguat seiring pergerakan harga BTC yang positif.
"Ini menjadi sinyal penting bahwa market lokal turut berkontribusi terhadap dinamika pasar global," tambah Antony menyampaikan.
Volume transaksi di platform Indodax misalnya, yang juga menunjukkan peningkatan signifikan seiring dengan lonjakan harga BTC. Pada 10 Juni 2025, total volume transaksi di Indodax tercatat sebesar Rp707,8 miliar, mencerminkan kenaikan aktivitas perdagangan dan minat yang meningkat dari para pelaku pasar domestik.
Bitcoin jadi pilihan diversifikasi portofolio
Sementara itu, berbagai indikator makroekonomi AS minggu ini juga menjadi perhatian pelaku pasar. Rilis data inflasi (CPI) yang dijadwalkan pada 11 Juni dan prediksi angka pengangguran pada 12 Juni diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap arah kebijakan suku bunga The Fed.
Menurut Antony, kombinasi antara tekanan inflasi, gejolak geopolitik, dan ketidakpastian terhadap arah suku bunga global telah mendorong investor untuk mencari aset yang tidak terikat pada keputusan bank sentral dan pemerintah.
"Bitcoin menjadi relevan karena ia bebas dari intervensi kebijakan moneter konvensional. Di saat aset lain tunduk pada stimulus atau pengetatan, bitcoin beroperasi pada prinsip yang tetap, yakni transparansi, suplai terbatas, dan konsensus global," jelas Antony.
Ia menekankan adopsi institusional yang semakin meluas telah mengubah cara pasar memandang bitcoin. Kini, banyak lembaga keuangan besar tidak lagi melihat bitcoin sebagai spekulasi, tetapi sebagai elemen penting dalam manajemen risiko dan diversifikasi portofolio jangka panjang.
"Jika beberapa tahun lalu institusi masih meraba-raba posisi bitcoin, kali ini mereka sudah memasukkannya ke dalam strategi aset digital. Bahkan beberapa sovereign wealth fund mulai mengevaluasi eksposurnya terhadap kripto. Ini adalah fase transisi dari skeptisisme ke penerimaan," ujar Antony.
Antony menilai momentum saat ini juga menjadi peluang bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk lebih adaptif di sektor
blockchain dan aset digital.
"Indonesia punya potensi besar, baik dari sisi demografi, penetrasi digital, maupun komunitas kripto yang aktif. Tapi tantangannya adalah bagaimana menjadikan diri kita bukan sekadar pasar konsumen, melainkan pemain yang berkontribusi dalam pengembangan teknologi dan kebijakan global," ucap dia.
(Ilustrasi. Foto: dok KBI)
Sikapi dengan manajemen risiko yang matang
Meski demikian, Antony mengingatkan volatilitas tetap menjadi bagian dari dinamika kripto yang harus disikapi dengan pendekatan manajemen risiko yang matang.
"Harga bisa naik dan turun secara agresif, tetapi arah jangka panjang bitcoin tetap menunjuk pada penguatan fundamental. Yang penting adalah bagaimana investor memposisikan diri secara bijak di tengah siklus pasar yang kompleks," imbuh Antony.
Ia juga menekankan ekosistem kripto yang berkelanjutan hanya bisa tercipta jika semua pihak, mulai dari pelaku industri, regulator, hingga masyarakat, bergerak ke arah yang sama.
"Bitcoin bisa menjadi katalis pertumbuhan ekonomi digital, tapi kita butuh ekosistem yang mendukung, yaitu regulasi yang progresif, infrastruktur yang kuat, dan literasi publik yang terus meningkat," tutup Antony.