Para ahli menilai dunia butuh tata kelola AI yang inklusif untuk menghadapi ketimpangan teknologi dan risiko global. (YouTube / FPCI)
Willy Haryono • 15 November 2025 18:47
Jakarta: Penggunaan Kecerdasan Buatan (AI) di beragam sektor terus meningkat, dan hal ini menimbulkan berbagai tantangan baru. Perkembangan pesat teknologi ini, terutama AI, memperlebar kesenjangan kapasitas, memperumit diplomasi, dan memunculkan kebutuhan akan tata kelola yang lebih inklusif di tengah ketimpangan infrastruktur digital antara negara maju dan berkembang.
Duta Besar Urusan Digital Estonia periode 2020–2024, Nele Leosk, menekankan bahwa pesatnya perkembangan teknologi kini sulit diimbangi oleh hampir semua negara.
“Tantangan utama bagi banyak negara adalah memastikan kapasitas, konektivitas, dan keterampilan yang memadai agar mampu memanfaatkan teknologi secara aman, berdaulat, dan tidak bergantung pada satu aktor,” tutur Nele, dalam Global Town Hall 2025 sesi How to Make the AI Revolution Work for All: A North-South Debate yang digelar secara virtual oleh FPCI, Sabtu, 15 November 2025.
Nele juga menyoroti meningkatnya relevansi tech diplomacy, di mana urusan digital tak lagi menjadi domain teknokrat, melainkan menjadi bagian strategis dari pekerjaan setiap diplomat. Ia menegaskan bahwa teknologi membawa manfaat besar seperti yang ditunjukkan Estonia, namun dunia tampaknya mulai lupa akan potensi positif tersebut di tengah kekhawatiran akan risiko dan ketergantungan digital.
Sementara itu, Prof. Dr. Hoda Alkhzaimi, penasihat strategis bidang ekonomi, teknologi, dan investasi, menilai bahwa era AI bukan sekadar soal prediksi mesin, melainkan soal tata kelola lebih dari 200 teknologi yang berkembang di AI stack. Ia menyebut AI sebagai fondasi ekonomi, etika, dan infrastruktur lingkungan global, dengan nilai kontribusi ekonomi yang diproyeksikan mencapai USD 15–20 triliun pada 2030.
Namun, ia menekankan peta kekayaan digital yang timpang: 70 persen kekuatan komputasi global berada di tiga blok negara maju, sementara 60 persen data dunia berasal dari negara-negara Selatan yang menguasai kurang dari 10 persen infrastruktur komputasi.
“Ketimpangan ini bukan sekadar kesenjangan teknologi, melainkan bentuk baru ketergantungan industri yang dapat memengaruhi kedaulatan digital negara,” tutur Prof Hoda.
Ia menekankan perlunya paradigma diplomasi baru yang berfokus pada kedaulatan infrastruktur, pengelolaan bandwidth lintas batas, dan tanggung jawab terhadap dampak lingkungan yang muncul dari ekspansi pusat data, yang kini menyumbang hingga 1,5 persen konsumsi listrik global.