Driver ojol melakukan unjuk rasa di Kemenaker. Foto: Istimewa.
Husen Miftahudin • 9 May 2025 22:36
Jakarta: Para driver ojek online (ojol) yang tergabung dalam Koalisi Pandawa V yakni Koalisi Ojol Nasional (KON), Laskar Malari, Keluarga Besar Driver Jabodetabek (KBDJ), Tiga Pilar, dan Kalibata Bersatu mendesak pemerintah menghentikan eksploitasi dan komersialisasi driver ojol yang statusnya didorong menjadi bagian dari kelompok buruh.
Desakan ini adalah bagian dari beberapa tuntutan dalam unjuk rasa ratusan driver ojol di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) di Jalan Gatot Subroto Jakarta, pada Kamis kemarin (8/5).
Perwakilan driver KON, dalam siaran persnya, menyatakan driver ojol seringkali digambarkan menjadi bagian dari kelompok pekerja atau buruh, tidak hanya sebagai mitra oleh elite-elite buruh maupun partai tertentu.
Bahkan terdapat serikat buruh tertentu yang seolah-olah memperjuangkan kepentingan ojol ke Kemnaker, tetapi ternyata mereka memiliki maksud terselubung, yakni menginginkan status ojol menjadi pekerja tetap seperti buruh, dengan hak-hak ketenagakerjaan di antaranya Tunjangan Hari Raya (THR), pesangon, asuransi, jaminan pensiun, hak cuti dan lain-lain.
"Padahal, status ojol berbeda dengan serikat buruh atau serikat pekerja. Sebab, ojol bekerja berlandaskan kemitraan tanpa ada payung hukum yang mengikat, sedangkan buruh atau pekerja mengacu pada UU Ketenagakerjaan," tulis siaran pers KON, dikutip Jumat, 9 Mei 2025.
Oleh karena itu, KON menyatakan sudah saatnya pemerintah menghentikan upaya penyesatan terhadap rekan-rekan pengemudi daring yang diasosiasikan sebagai pekerja formal, yang berhak atas jaminan kesehatan, ketenagakerjaan, THR hingga pensiun. Hal ini karena dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia, hubungan mitra berbeda dengan hubungan kerja yang diamanatkan dalam UU Ketenagakerjaan.
Dalam aksi unjuk rasa di Kemnaker, Juru Bicara Koalisi Pandawa V Mohammad Rahman juga mengatakan status ojol dan buruh itu berbeda. Dengan demikian, pemerintah sebaiknya mengambil peran sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.
"Harusnya (pemerintah ikut) tinggal turun ke lapangan. Kalau buruh di-PHK bisa jadi ojol. Tapi kalau mitra ojol diputus, bisa jadi buruh? Belum tentu. Nggak ada perlindungan," kata Mohammad.
Ketua KON Andi Gustianto juga menilai Wamenaker tidak sanggup mengurus masalah ojol. "Mitra dibingungkan oleh pihak Kemenaker yang ingin menjadikan ojol sebagai pekerja, sedangkan Kementerian Koperasi dan UKM hendak menjadikan ojol sebagai pelaku usaha," kata Andi.
Baca juga: Menaker Mengaku Kesal dengan Aplikator Ojol, Gegara Bantuan Hari Raya? |