Yogyakarta: Kasus leptospirosis di Kota Yogyakarta dalam beberapa pekan terakhir meningkat secara signifikan meski musim penghujan sudah berakhir. Namun Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta belum menetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa atau KLB.
Dosen Departemen Biostatistik, Epidemiologi, dan Kesehatan Populasi FK-KMK UGM, Bayu Satria Wiratama, mengatakan sebenarnya KLB bukan hanya perkara di-announce statusnya, tapi yang penting (Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta) sudah melakukan penanganan sebagaimana mestinya.
Bayu menyoroti lonjakan kasus Leptospirosis biasanya terjadi pada musim hujan atau setelah banjir akibat meningkatnya kontak dengan air tercemar bakteri Leptospira, penyebab Leptospirosis. Namun, tahun ini tren tersebut muncul di musim kemarau.
"Ini ada sesuatu yang berubah," kata Bayu dalam podcast TropmedTalk di Pusat Kedokteran Tropis FKKMK UGM, Selasa, 12 Agustus 2025.
Terkait hal itu, Bayu menduga lonjakan kasus berkaitan dengan penanganan
sampah yang belum sepenuhnya tuntas di Kota Yogyakarta. Upaya pengelolaan sudah dilakukan oleh Pemkot, namun hasilnya masih perlu dioptimalkan karena penyebab Leptospirosis tidak murni dipicu curah hujan, tetapi juga faktor lingkungan.
"Kasusnya bisa naik, walaupun di waktu yang tidak seharusnya," jelas Bayu.
Menurut Bayu penumpukan sampah di beberapa titik kota menjadi sumber makanan dan tempat berkembang biak tikus, hewan yang membawa bakteri Leptospira. Perubahan pola penularan ini membuat risiko Leptospirosis tidak lagi bergantung pada banjir atau genangan air.
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang menular melalui kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi urin tikus. Bakteri ini dapat masuk melalui kulit yang terluka, bahkan luka kecil yang tidak terlihat. Gejalanya kerap mirip dengan penyakit lain seperti demam berdarah atau chikungunya, sehingga rawan terlambat terdiagnosis.
“Kalau demam tidak turun dalam 1–2 hari, apalagi ada riwayat aktivitas di lingkungan berisiko, segera periksa ke fasilitas kesehatan,” ungkap Bayu.
Faktor lingkungan dan perilaku masyarakat berperan besar dalam penyebaran Leptospirosis. Tikus membawa bakteri Leptospira dan dapat menyebarkannya melalui urin, bahkan tanpa adanya genangan air. Luka terbuka pada kaki saat beraktivitas di luar ruangan bisa menjadi pintu masuk infeksi.
Upaya pengendalian, menurut Bayu, tidak cukup hanya dari sektor kesehatan. Dibutuhkan kerja sama lintas sektor seperti Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pasar, Dinas PUPR, serta partisipasi aktif masyarakat.
Sebagai langkah pencegahan, warga diajak untuk menjaga kebersihan lingkungan dan mengelola sampah rumah tangga dengan baik, menutup makanan dan air minum agar tidak terkontaminasi, serta menggunakan alas kaki saat berkegiatan di luar ruangan, terutama di area lembab