Bangunan roboh di Myanmar akibat guncangan Gempa. Foto: Aungban Philanthropic Group
Jakarta: Gempa berkekuatan 7,7 magnitudo mengguncang Myanmar dan Thailand pada Jumat, 28 Maret 2025, memakan korban ratusan jiwa, meluluhlantakkan infrastruktur vital, dan memperburuk krisis yang tengah dialami Myanmar.
Dikutip dari CNA, data sementara Junta pada Sabtu, 29 Maret 2025, menyebut 694 korban tewas dan 1.670 luka-luka di Myanmar. Ditambah 10 korban jiwa tercatat di Bangkok akibat gedung pencakar langit yang tengah dibangun runtuh. Guncangan yang terasa hingga radius 1.000 kilometer ini memicu tantangan logistik akibat kerusakan yang masif.
Berikut rangkuman fakta terkini berdasarkan laporan berbagai sumber lapangan dan verifikasi data internasional.
1. Korban jiwa bertambah
Pemerintah militer Myanmar mengonfirmasi 144 korban tewas dan 732 luka-luka di tiga wilayah terdampak, yakni Sagaing, Kyaukse, dan Naypyidaw. Namun, lembaga geologi internasional USGS memperkirakan angka korban sebenarnya bisa melebihi 10.000 jiwa mengingat kedalaman gempa kurang dari 10 kilometer di Sesar Sagaing.
Sebanyak 10 korban tewas dan 101 orang hilang dilaporkan di Bangkok, Thailand, terutama akibat ambruknya gedung 33 lantai di kawasan Pasar Chatuchak yang masih dalam tahap konstruksi.
2. Sesar Sagaing, pusat guncangan yang terasa hingga Bangkok
USGS mencatat episentrum gempa terletak di Sesar Sagaing, zona patahan aktif sepanjang 1.200 km antara Lempeng India dan Eurasia. Mekanisme geser horizontal (strike-slip) pada kedalaman dangkal (6–10 km) ini memicu guncangan hingga ke Chiang Mai (Thailand) dan Yunnan (China).
Ahli geologi menyebut pola kerusakan mirip gempa Turki 2023, di mana konstruksi bangunan tidak memadai memperparah dampak. Gempa susulan berkekuatan 6,4 magnitudo juga dilaporkan terjadi 11 menit pascagempa utama.
3. Infrastruktur porak poranda, akses terhambat
Di Myanmar, Jembatan Ava di Sungai Irrawaddy, penghubung utama antara Sagaing dan Mandalay, runtuh dan memutus jalur logistik bantuan. Rumah sakit terbesar di Naypyidaw dengan kapasitas 1.000 tempat tidur juga rusak berat.
Sementara itu, runtuhnya gedung pemerintah di Bangkok menyebabkan kemacetan parah dan memaksa warga harus mengungsi. Pemerintah Thailand terpaksa menutup sementara layanan kereta layang BTS Skytrain untuk inspeksi darurat.
4. Bantuan Internasional terganjal konflik politik
Junta Myanmar yang sangat jarang melibatkan masyarakat internasional dalam memimpin negara, secara langka meminta bantuan asing. Namun, distribusi logistik terhambat blokir internet, jalan rusak, dan ditutupnya bandar. Laporan organisasi kemanusiaan menyebut 20 juta warga Myanmar telah hidup dalam krisis sebelum gempa, dengan 3,56 juta pengungsi internal akibat perang saudara.
Di tengah upaya evakuasi, militer dituding memprioritaskan bantuan ke wilayah pendukung junta. PBB dan sejumlah lembaga donor global telah mengucurkan dana darurat USD 5 juta (Rp80 miliar, USD1=Rp16.000). Tetapi akses ke daerah terisolasi masih menjadi kendala utama karena kerusakan parah infrastruktur akibat gempat.
5. Ancaman krisis: kelaparan hingga wabah
Gempa ini memperburuk kerawanan pangan yang sebelumnya diprediksi Program Pangan Dunia (WFP) menjangkiti 15 juta warga Myanmar. Di wilayah terparah seperti Mandalay, 20 persen bangunan luluh lantak, termasuk biara Phaya Taung yang memerangkap puluhan biksu.
Organisasi kesehatan mengingatkan risiko wabah kolera dan infeksi pernapasan akibat air bersih yang terbatas serta pengungsian massal. Di Thailand, tim SAR masih berjuang mengevakuasi korban yang terjebak di reruntuhan gedung pemerintah.