Presiden Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Tiongkok Li Qiang. Foto: BPMI Setpres.
M Rodhi Aulia • 26 May 2025 18:58
Jakarta: Kerja sama antara Bank Indonesia (BI) dan People's Bank of China (PBoC) membuka peluang teknis konkret bagi penguatan ketahanan ekonomi nasional. Dari pengelolaan nilai tukar hingga diversifikasi sumber pembiayaan, kesepakatan ini dinilai sebagai terobosan penting menghadapi tekanan global.
Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, menyoroti bahwa kerja sama ini bukan hanya simbol diplomatik, melainkan mekanisme teknis yang bisa langsung berdampak terhadap stabilitas moneter dan sistem pembiayaan dalam negeri.
“Ini adalah momen geostrategis yang menyiratkan posisi baru Indonesia di arsitektur keuangan dunia. Dan bukan sembarang pintu, ini adalah pintu uang. Tempat di mana kekuatan tak lagi ditentukan oleh sekadar militer, produksi manufaktur, dan narasi pemerintah, melainkan lewat hal yang lebih halus dan subtil, yakni aliran modal, likuiditas dan kepercayaan lintas batas,” kata Fakhrul yang dikutip, Senin, 26 Mei 2025.
Kerja sama ini memungkinkan Indonesia mengakses kanal pembiayaan jangka panjang dalam mata uang yuan (RMB). Ini menjadi solusi strategis untuk mendanai proyek infrastruktur tanpa bergantung pada dolar AS, apalagi saat suku bunga global masih tinggi.
Baca juga: Indonesia-Tiongkok Teken Sejumlah Kerja Sama di Sektor Strategis
“PBoC bukan bank sentral biasa. Mereka mengelola lebih dari USD 3 triliun cadangan devisa, mengarahkan jalur internasionalisasi Yuan (Renmnbi/RMB), menentukan arah pembiayaan global dalam konteks Belt and Road Initiative, dan mendorong sistem keuangan alternatif melalui Cross-Border Interbank Payment System (CIPS),” jelas Fakhrul.
Tiongkok, dengan tingkat imbal hasil obligasi 10 tahunnya hanya 1,6 persen, tengah memiliki kelebihan likuiditas. Ini bisa dimanfaatkan Indonesia untuk memperoleh pembiayaan dengan beban bunga yang lebih ringan.
“Ini bukan hanya langkah teknokratis. Ini adalah cara baru memikirkan kedaulatan keuangan, kita membantu rebalancing ekonomi dua negara besar (Amerika Serikat dan China), yang mana kemudian memberi ruang lebih besar untuk kemaslahatan rakyat Indonesia,” ujar Fakhrul.
Lebih dari itu, kerja sama ini berpeluang mengurangi tekanan permintaan dolar AS di pasar domestik. Dengan demikian, Bank Indonesia memiliki ruang stabilisasi nilai tukar rupiah yang lebih besar, termasuk dalam menghadapi sentimen global yang cepat berubah.
Fakhrul menambahkan, dalam jangka menengah Indonesia bisa keluar dari ketergantungan pada instrumen jangka pendek seperti SRBI (Sekuritas Rupiah Bank Indonesia), menuju sistem pembiayaan jangka panjang berbasis multicurrency.
“Hal ini juga menandai perubahan diplomasi kita bersama Tiongkok, dari diplomasi beton ke diplomasi modal. Kerja sama Indonesia dan Tiongkok selama ini lekat dengan pembangunan fisik; jalan tol, pelabuhan, kereta cepat. Tapi dengan pertemuan ini, arah kerja sama naik kelas, menuju diplomasi modal,” katanya.
Langkah ini juga sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto yang ingin memperkuat struktur ekonomi nasional, khususnya dalam menghadapi tantangan eksternal.
“Kita bukan musuh dolar, tapi juga bukan budak dolar. Kita membuka diri pada RMB, bukan untuk tunduk pada Beijing, tapi untuk membentuk sistem keuangan yang lebih adil, terbuka, dan multipolar,” tegas Fakhrul.
Jika kerja sama ini dirancang dengan perhitungan matang, maka bukan tidak mungkin Indonesia bisa membangun sistem keuangan yang tidak hanya tahan gejolak, tetapi juga lebih terhubung dengan tren keuangan global yang semakin dinamis.
“Jika dikelola dengan tepat, pertemuan ini bisa menjadi langkah awal menuju sistem keuangan nasional yang lebih stabil, lebih berdaulat, dan lebih terhubung ke dunia tanpa kehilangan arah. Karena di tengah ketidakpastian global, kekuatan bukan milik yang paling cepat atau paling besar, tetapi milik mereka yang mampu menjadi jembatan ketika dunia terbelah,” tutupnya.