M Sholahadhin Azhar • 21 March 2025 19:59
Jakarta: Sidang terkait putusan bebas Ronald Tannur terus bergulir. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mengagendakan pemaparan ahli terkait perkara ini.
Salah satu ahli yang dihadirkan, yakni ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI), Eva Achjani Zulfa. Dalam sidang dengan terdakwa Hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Heru Hanindyo. , Eva mengulas soal konsep tertangkap tangan.
"Konsep tertangkap tangan itu sederhananya adalah orang yang memang dia sedang melakukan aktivitas tidak pidananya, ada bukti yang melekat pada dirinya, kemudian pada saat yang sama dia ditangkap," kata Eva di Jakarta, Jumat, 21 Maret 2025.
Menurut dia, hal tersebut sesuai dengan ketentuan yang tertuang pada Pasal 1 angka 19 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Eva mencontohkan kasus tangkap tangan seperti maling ayam. Pelaku, kata dia, dapat ditangkap saat mengambil atau mencuri ayam milik orang lain.
"Ada maling ayam di kandang ayam, sedang pegang ayam orang, tertangkap oleh masyarakat. Jadi konteksnya tertangkap tangan adalah orang yang memang sedang melakukan aktivitas tindak pidana dan itu dia ketahuan," kata Eva.
Dia menilai pelaku yang telah tertangkap tangan harus dibawa ke penegak hukum. Sehingga, dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
"Makanya kemudian ada di KUHAP adalah dia harus dibawa ke pos polisi terdekat untuk dibuatkan berita acara penyerahan kepada penyidik," kata Eva.
Eva kemudian menyoroti proses tangkap tangan terhadap para hakim. Salah satunya, Heru Hanindiyo, sebagai terdakwa dalam perkara itu.
Dalam perkara tersebut, Heru Hanindiyo disebut tertangkap dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung). Heru sempat menyampaikan nota keberatan karena penyidik tidak dapat menunjukkan izin dari Ketua Mahkamah Agung (MA), berdasarkan ketentuan Pasal 26 Undang-undang Tentang Peradilan Umum.
"Jika sejak awal prosedurnya sudah salah, maka konsekuensi hukumnya semua proses hukum itu tidak sah," kata Eva.
Heru Hanindiyo merupakan satu dari tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya. Mereka didakwa menerima suap Rp 4,67 miliar dalam dugaan suap dan gratifikasi atas pemberian vonis bebas, kepada terpidana pembunuhan Ronald Tannur pada 2024.
Dalam kasus ini, Heru didakwa dengan Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 Ayat (2) atau Pasal 5 Ayat (2) dan Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.