Whisnu Mardiansyah • 13 October 2025 07:00
Medan: Di antara getirnya perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Pertempuran Medan Area menjadi saksi bisu keberanian rakyat Sumatra Utara yang tak sudi dijajah kembali. Setiap jengkal tanah di kota ini menyimpan cerita tentang harga diri yang diperjuangkan dengan darah dan nyawa, mengukir salah satu bab paling heroik dalam sejarah Republik.
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 bergema di Medan, harapan kemerdekaan mulai bersemi. Namun, bayang-bayang penjajahan kembali menghantui ketika pasukan Inggris mendarat pada 9 Oktober 1945. Di balik misi perdamaian mereka, terselubung niat licin NICA yang hendak mengibarkan kembali bendera kolonial.
Awalnya, sambutan hangat diberikan rakyat Medan kepada pasukan Sekutu. Pemerintah provinsi bahkan dengan lapang hati menyediakan penginapan bagi mereka. Namun, sikap bersahabat ini berbalik menjadi perlawanan sengit setelah sebuah penghinaan tak terampunkan terjadi.
Prasasti Peringatan Medan Area (Gedung Pension Wilhelm, Jalan Veteran, Medan). Arsip Nasional Republik Indonesia
Pada 13 Oktober 1945, di sebuah hotel di Jalan Bali, seorang tentara NICA dengan congkak merampas dan menginjak-injak lencana Merah Putih milik pemuda Indonesia. Peristiwa penghinaan kedaulatan ini bagai menyulut bara dalam sekam, memicu kemarahan meluap dari kalangan pemuda dan laskar rakyat.
"Insiden ini menjadi titik balik yang mengubah sikap ramah menjadi perlawanan sengit," tulis sejarawan M Said, Minggu, 12 Oktober 2025. "Rakyat Medan memilih berdiri tegak daripada berlutut."
Serangan balik dilancarkan ke hotel tersebut, menandai dimulainya pertempuran terbuka antara rakyat yang membela harga diri melawan pasukan asing yang hendak menjajah kembali.
Menanggapi perlawanan sengit rakyat, Brigadir Jenderal TED Kelly mengeluarkan ultimatum agar senjata diserahkan kepada Sekutu. Namun, perintah ini justru dianggap sebagai pelecehan terhadap kedaulatan bangsa yang baru saja lahir.
Pada 1 Desember 1945, sikap arogan Sekutu mencapai puncaknya dengan pemasangan papan "Fixed Boundaries Medan Area". Tindakan ini bagai mengoyak-oyak luka kemerdekaan, memicu amarah yang semakin menjadi-jadi di kalangan pejuang.
Tanggal 10 Desember 1945 menjadi saksi serangan besar-besaran Sekutu dan NICA terhadap kota Medan. Dentuman meriam dan letusan senjata menggelegar di seantero kota, namun semangat juang rakyat tidak pernah padam.
Meski secara fisik kota Medan akhirnya jatuh ke tangan Sekutu pada April 1946, jiwa perlawanan tetap hidup. Para pejuang beralih ke strategi gerilya, menyusup di celah-celah kota, menyergap dari kegelapan, dan terus mengibarkan panji-panji kemerdekaan.
Pada 10 Agustus 1946, di tengah kepungan musuh, para pejuang membentuk Komando Resimen Laskar Rakyat (RIMA) di Tebing Tinggi. Langkah ini menunjukkan kedewasaan berpolitik dan keteguhan hati untuk terus berjuang meski dalam keadaan terdesak.
Pertempuran Medan Area akhirnya resmi berakhir pada 15 Februari 1947 dengan perjanjian gencatan senjata. Namun, semangat perjuangan yang telah dikobarkan tetap hidup dalam sanubari generasi penerus bangsa.
Monumen-monumen yang berdiri megah di berbagai sudut Medan kini menjadi saksi bisu betapa mahal harga sebuah kemerdekaan. Setiap tanggal 13 Oktober, rakyat Sumatra Utara mengenang dengan khidmat para pahlawan yang gugur demi mempertahankan harga diri bangsa.
Pertempuran Medan Area bukan sekadar catatan sejarah, melainkan bukti nyata bahwa kemerdekaan harus dipertahankan dengan keberanian, pengorbanan, dan keteguhan hati. Warisan heroik ini terus menginspirasi generasi muda untuk mencintai tanah airnya tanpa syarat.
*Pengerjaan artikel berita ini melibatkan peran kecerdasan buatan (artificial intelligence) dengan kontrol penuh tim redaksi.