Badai Melissa Menyisakan Kehancuran Total di Sebuah Kota Jamaika

Garis pantai Black River, Jamaika yang hancur akibat hantaman Badai Melissa. Foto: EFE

Badai Melissa Menyisakan Kehancuran Total di Sebuah Kota Jamaika

Fajar Nugraha • 30 October 2025 16:03

Black River: Badai Melissa yang menghantam Jamaika menyisakan kerusakan parah terhadap kota pelabuhan kuno. Kota Black River pada Rabu 29 Oktober 2025, tampak tak dikenali oleh penduduk setempat, garis pantainya dipenuhi batu-batu besar, dan sebuah menara telepon seluler telah melengkung membentuk setengah lingkaran.

“Hanya tempat-tempat yang memiliki empat dinding beton yang masih berdiri, dan biasanya atapnya sudah hilang,” kata Amiri Bradley, yang sering mengunjungi kota pelabuhan tersebut, seperti dikutip dari The New York Times, Kamis 30 Oktober 2025.

Black River, ibu kota Paroki St. Elizabeth di pesisir barat daya Jamaika, telah lama dikenal sebagai titik pertemuan Black River dengan laut, yang dulunya merupakan pelabuhan penting tempat para budak mengemas gula dan rum ke dalam kapal. Tempat ini kemudian menjadi tempat favorit untuk safari buaya atau liburan santai di Waterloo Guest House, yang konon merupakan rumah pribadi pertama di Jamaika yang diterangi listrik.

Hotel itu, beserta gedung pengadilan, perpustakaan, gereja, dan bangunan bersejarah lainnya di kota itu, kini telah menjadi puing-puing akibat Badai Melissa, menurut Perdana Menteri Jamaika, Andrew Holness, yang melakukan tur udara di pesisir pada hari Rabu dan mengatakan bahwa Black River "benar-benar hancur total."

Badai tersebut tiba di pantai Jamaika dengan kecepatan angin 290 km/jam pada hari Selasa, badai terkuat yang pernah tercatat di pulau itu. Badai tersebut menghantam wilayah pesisir yang masih dalam tahap pemulihan pasca Badai Beryl, yang melewati lepas pantai sebagai badai Kategori 4 tahun lalu.

Pada Rabu sore, lima jenazah telah ditemukan di Paroki St. Elizabeth, termasuk setidaknya dua jenazah di Black River. Wali Kota kota tersebut, Richard Solomon, kesulitan menjelaskan tingkat kerusakannya.

"Kami sangat terpukul. Kehancuran total," kata Solomon dalam wawancara telepon yang terputus-putus. Ia, katanya, mencoba "mengklasifikasikan tingkat bencana yang kami alami di sini."

Solomon memperkirakan gelombang badai setinggi 4,5 meter melanda sebagian kota, yang, katanya, merupakan rumah bagi sekitar 8.000 orang. Baik rumah sakit maupun stasiun pemadam kebakaran hancur atau rusak parah. Persediaan darurat musnah ketika sebuah kontainer yang mengangkutnya terbalik oleh banjir.

Saat air naik pada Selasa malam, kata Solomon, ia dan puluhan orang lainnya berlindung di lantai dua stasiun pemadam kebakaran.

Coleridge Minto, kepala polisi untuk Paroki St. Elizabeth, mengatakan, "Kami sedang menimba air, mendorong air keluar."

Sudah terlambat untuk mencari tempat berlindung di tempat lain, katanya, seraya menambahkan bahwa "air menutupi mobil-mobil polisi di luar."

Tak lama kemudian, orang-orang mulai berdatangan ke stasiun ketika badai merobek atap rumah mereka. "Saat rumah-rumah mereka mulai runtuh, mereka pergi ke stasiun, termasuk anak-anak," kata Minto.

Pada Rabu, Black River masih hampir terputus dari wilayah paroki lainnya karena jalan-jalan yang terblokir dan setidaknya satu jembatan yang ambruk, kata para pejabat. Kerabat salah satu korban berjalan kaki sejauh 24 kilometer ke kantor polisi untuk melaporkan kematian orang yang mereka cintai, menurut Inspektur Minto.

"Kami merasa agak terdampar saat ini," kata Wali Kota Salomon.

Bradley, yang sedang mengunjungi Black River, menggambarkan kekacauan serupa. Pada Selasa sore, katanya, angin mulai menerbangkan atap rumah keluarganya yang besar, dan ia beserta yang lainnya mencari perlindungan di dalam mobil.

"Mobil kami diparkir di garasi yang dikelilingi dinding beton. Jadi, itulah pilihan teraman kami,” kata Bradley, 27 tahun.

Mereka akhirnya keluar, berlari ke rumah bibinya, di mana sebagian bangunan betonnya telah bertahan dari badai sebelumnya, katanya.

Siang hari memperlihatkan rumah-rumah yang sebagian besar tanpa atap, kabel listrik yang tumbang, menara telepon seluler yang remuk, dan batu-batu besar seberat ratusan pon yang dilemparkan ke rumah-rumah yang hancur.

“Saya pikir itu karena batu-batu itu mungkin beterbangan — tepat ke semua rumah itu. Ada beberapa yang benar-benar rata, padahal tidak ada apa-apa di sana,” ucap Bradley.

Setelah bergegas mencari teman dan kerabat, banyak di antaranya sudah tua dan beberapa terluka akibat reruntuhan bangunan, warga mulai berkeliaran di jalan-jalan, berbagi persediaan makanan dan air, kata Bradley.

Menjejakkan kaki di medan yang familiar, ia menuju ke tempat di mana Waterloo Guest House dulu berada. “Itu benar-benar hilang. Saya berbalik dan itu hanya tumpukan kayu,” pungkas Bradley.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Fajar Nugraha)