Ilustrasi. Media Indonesia.
MASA satu tahun bagi sebuah pemerintahan baru ibarat remaja tanggung yang masih belajar dan mulai meletakkan fondasi hidup. Pada usia remaja pula, dalam takaran tertentu, ada evaluasi terhadap yang dilakukan orangtua atau pendahulu. Itu terlihat dari langkah yang ditempuh yang bisa berbeda jika dibandingkan dengan orangtuanya.
Di titik itu, saat ini, pemerintahan di bawah Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka berada. Sejumlah program kebijakan yang benar-benar berbeda dari pemerintahan sebelumnya digulirkan.
Program Makan Bergizi Gratis, Sekolah Rakyat, Koperasi Merah Putih, serta swasembada pangan dan energi berjalan. Itu dilakukan sembari menyelesaikan pekerjaan rumah menuntaskan perjanjian perdagangan bebas secara bilateral maupun multilateral.
Dalam satu tahun perjalanan pemerintahan, Prabowo-Gibran mendengarkan keluhan masyarakat tentang lesunya daya beli dan sulitnya mencari pekerjaan. Penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% dibatalkan, kecuali untuk barang dan jasa mewah. Bahkan, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa membuka peluang PPN diturunkan kembali tahun depan.
Bukan itu saja, sejumlah paket stimulus perekonomian untuk menggairahkan belanja masyarakat digelontorkan. Terbaru, meluncur program Magang Nasional untuk total 100 ribu lulusan baru perguruan tinggi.
Presiden Prabowo juga sangat aktif dan lincah berdiplomasi hingga memuluskan berbagai kesepakatan dagang dan memperkuat posisi Indonesia di percaturan geopolitik global. Bisa dibilang, secara umum pemerintah sudah mulai bergerak di jalur yang benar dalam setahun masa kepemimpinan
Prabowo-Gibran.
Tidak dimungkiri, banyak problem yang muncul menghadang gerak laju program-program kebijakan Prabowo-Gibran. Makan Bergizi Gratis, misalnya, sejak digulirkan pada Januari hingga Oktober, berulang kali didera kasus dugaan keracunan massal siswa.
Timbulnya berbagai permasalahan merupakan hal yang wajar. Pemerintah tentu melakukan perbaikan-perbaikan untuk mengatasi masalah dan mencegahnya terulang kembali.
Namun, kita masih perlu mengingatkan agar pemerintahan Prabowo-Gibran tidak menutup mata ataupun telinga dari tuntutan, masukan, dan evaluasi oleh publik. Kiranya pemerintah juga perlu mengajak mitranya di DPR untuk lebih mendengar aspirasi rakyat dalam melahirkan produk legislasi.
Betapa tidak? Dari sejak era Presiden Jokowi hingga setahun era
Prabowo-Gibran, Mahkamah Konstitusi berulang kali mengingatkan tentang partisipasi publik yang bermakna dalam pembuatan undang-undang. Undang-Undang Cipta Kerja merupakan contoh produk legislasi yang habis-habisan dipereteli oleh MK. Itu akibat minimnya partisipasi publik yang bermakna dalam penyusunannya.
Padahal, pembuat undang-undang paham betul bahwa pelibatan atau partisipasi publik merupakan keniscayaan yang diamanatkan konstitusi. Bukan hanya satu pasal yang menjamin amanat itu, melainkan tiga pasal.
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyebut kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menjamin bahwa warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Dan, ketiga, Pasal 28C ayat (2) yang menyatakan setiap orang berhak memajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara.
Salah satu prasyarat partisipasi publik yang bermakna ialah penyelenggara negara yang akomodatif merespons kritik publik. Alih-alih alergi, jadikan kritik publik sebagai vitamin dan energi. Dengan begitu, kita percaya cita-cita pemerataan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial akan terwujud dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.