Ilustrasi. Media Indonesia.
Riza Aslam Khaeron • 17 October 2025 16:55
Jakarta: Akhir Oktober selalu membawa kita pada satu peringatan penting dalam sejarah perjalanan bangsa—Hari Sumpah Pemuda. Tanggal 28 Oktober 2025 nanti, Indonesia kembali mengenang momen ketika para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara bersatu, mengikrarkan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia.
Ikrar itu bukan sekadar pernyataan, melainkan peneguhan identitas kolektif yang hingga hari ini menjadi fondasi bangsa.
Namun, pernahkah kita bertanya dari mana asal-usul kata “Indonesia” yang kini melekat pada nama negara, bahasa, dan jati diri kita? Nama ini tidak lahir dari kerajaan-kerajaan tua di Nusantara, bukan pula hasil evolusi bahasa daerah.
Lantas dari mana asalnya? Berikut ulasan lengkap tentang asal-usul kata "Indonesia".
Asal-Usul Kata “Indonesia” dalam Tradisi Akademik
Istilah Indonesia pertama kali muncul bukan dari tokoh pribumi atau naskah lokal, melainkan dari kalangan akademisi Eropa abad ke-19 yang mencoba memberi nama penduduk ras kulit coklat kepulauan di wilayah yang akan menjadi Asia Tenggara.
Pada tahun 1850, etnolog Inggris George Samuel Windsor Earl menerbitkan artikel di
jurnal Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA) yang terbit di Singapura.
Dalam tulisan itu, Earl mengusulkan dua istilah: Indunesians dan Malayunesians untuk menyebut ras yang mendiami kepulauan tersebut. Ia lebih memilih kata Malayunesians, tetapi menyebut Indunesians sebagai istilah alternatif.
“Dengan mengadopsi kata Yunani untuk 'pulau' sebagai akhiran, sebagaimana yang kita temui pada istilah 'Polynesia', maka penduduk 'Indian Archipelago' atau 'Malayan Archipelago' dapat disebut sebagai Indu-nesians atau Malayunesians. Saya memilih yang terakhir karena beberapa alasan. Istilah pertama dirasa terlalu umum...” tulis Earl dalam karyanya
On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations tahun 1850.
Namun, murid Earl, seorang editor berkebangsaan Skotlandia bernama James Richardson Logan, justru melihat potensi kata Indonesia sebagai nama geografis yang netral dan ringkas. Dalam volume keempat jurnal yang sama, juga terbit pada tahun 1850, Logan menulis:
“Tuan Earl mengusulkan istilah etnografis Indunesians, tetapi menolaknya dan lebih memilih Malayunesians. Untuk alasan yang akan jelas dalam catatan berikutnya, saya lebih menyukai istilah geografis murni Indonesia, yang hanya merupakan sinonim yang lebih pendek dari Indian Islands atau Indian Archipelago. Dengan demikian, kita memperoleh kata Indonesian untuk makna Indian Archipelagian atau Archipelagic, dan Indonesians untuk Indian Archipelagians atau Indian Islanders,” tulis Logan dalam artikelnya
The Ethnology of the Indian Archipelago tahun 1850.
Istilah ini kemudian digunakan oleh sejumlah sarjana Barat lain, termasuk Adolf Bastian, seorang etnolog Jerman, dalam bukunya Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel pada tahun 1884.
Karena pengaruhnya yang besar di kalangan ilmiah Belanda, Bastian sempat dianggap sebagai pencetus istilah Indonesia, meskipun catatan sejarah menunjukkan Loganlah yang pertama kali menggunakannya secara formal dan sistematis.
Diadopsi Gerakan Nasionalisme Pribumi
Setelah berkembang di kalangan akademisi Eropa, istilah Indonesia mulai masuk dan berakar dalam wacana politik di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Proses adopsi ini tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui perjumpaan kaum intelektual bumiputra dengan bacaan dan pemikiran modern dalam pendidikan kolonial, serta semangat antikolonial yang berkembang di dunia.
Salah satu titik penting adopsi istilah ini adalah pemakaian nama Indonesia oleh Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) pada tahun 1913 saat ia mendirikan Indonesisch Pers-bureau di Belanda.
Langkah ini bukan hanya simbolik, tetapi juga merupakan pernyataan politik: menggantikan istilah “Hindia Belanda” yang sarat makna kolonial dengan “Indonesia” yang mengandung semangat kebangsaan.
Penggunaan ini menandai momen awal ketika kata Indonesia berpindah dari sekadar istilah akademik menjadi simbol perlawanan dan identitas nasional.
Seiring waktu, organisasi-organisasi pergerakan seperti Indische Vereeniging di Belanda (yang kemudian menjadi Perhimpunan Indonesia pada 1925), juga mengadopsi istilah ini secara terang-terangan.
Dalam manifesto dan publikasi mereka, kata Indonesia digunakan untuk menegaskan bahwa perjuangan mereka bukan sekadar untuk memperbaiki nasib “pribumi Hindia Belanda”, melainkan untuk membangun sebuah bangsa bernama Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Adopsi istilah ini mencapai puncaknya dalam Kongres
Pemuda Kedua pada 28 Oktober 1928, saat
Sumpah Pemuda diikrarkan. Kata Indonesia tak lagi sekadar istilah geografis atau etnografis, tetapi telah menjadi identitas kolektif yang mempersatukan berbagai suku dan daerah di bawah satu cita-cita kemerdekaan.
Perubahan ini menjadikan kata Indonesia bukan hanya hasil ciptaan akademisi asing, tetapi milik seluruh rakyat yang memperjuangkan kemerdekaannya.