Kemenhaj Jawab Kritik Mantan Sekjen Kemenag

Direktur Jenderal Pelayanan Haji Kemenhaj dan Umrah, Ian Heriyawan. Foto: Dok. Istimewa.

Kemenhaj Jawab Kritik Mantan Sekjen Kemenag

Fachri Audhia Hafiez • 2 December 2025 17:18

Jakarta: Kebijakan Kementerian Haji dan Umrah (Kemenhaj dan Umrah) mengubah formula alokasi kuota haji antarprovinsi menuai kritik. Mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Agama (Kemenag), Nizar Ali, melalui opininya di media, menilai ada beberapa poin krusial yang perlu diluruskan terkait dasar hukum dan skema pembagian.

Direktur Jenderal Pelayanan Haji Kemenhaj dan Umrah, Ian Heriyawan, dengan tegas merespons kritik tersebut. Ia menyatakan bahwa kebijakan baru tersebut merupakan ikhtiar mewujudkan rasa keadilan bagi seluruh jemaah haji di Indonesia.

Ian Heriyawan memberikan penjelasan implisit menanggapi pandangan Nizar yang menyebut temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hanya merujuk pada Peraturan Menteri Agama (PMA), bukan Undang-Undang (UU).
 


“Sekalipun oleh BPK penetapan kuota provinsi tidak sesuai dengan PMA Nomor 13 Tahun 2021, ketentuan alokasi kuota pada PMA tersebut hampir sama dengan ketentuan alokasi kuota pada Pasal 13 UU Nomor 8 Tahun 2019,” jelas Ian di Jakarta, dikutip Selasa, 2 Desember 2025.

Menurut Ian, perbedaan yang ada hanya pada penggunaan kata “dan/atau” dalam regulasi tersebut. Ia menegaskan, secara implisit, penetapan kuota provinsi yang lama memang dapat dikatakan tidak sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.

Nizar juga mengkritik pembagian kuota dengan skema daftar tunggu (waiting list), yang dianggap menyalahi kesepakatan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) tahun 1987 yang menggunakan rasio 1.000 penduduk muslim berbanding 1 kuota haji. Nizar menilai rasio ini yang paling adil dan mudah diterapkan.

Namun, Ian membantah hal ini. Ia menyatakan bahwa sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2012, alokasi kuota berbasis rasio 1000:1 tidak lagi dikenal.

“Penggunaan rasio 1000:1 bahkan tidak pernah digunakan dan di-update lagi. Arab Saudi pun tidak pernah menggunakan rasio itu sebagai penentu kuota tiap negara,” tegas Ian.

Ia menambahkan, pembagian kuota yang hanya menggunakan proporsi penduduk muslim justru menimbulkan ketidakadilan. Pasalnya, belum tentu provinsi dengan penduduk muslim terbanyak memiliki pendaftar haji terbanyak, karena dipengaruhi faktor sosial ekonomi dan budaya daerah.

Terkait solusi yang disarankan Nizar, yakni moratorium pendaftaran haji untuk daerah dengan antrean sangat lama, Ian menolaknya. Menurutnya, hal itu melanggar hak warga negara untuk beribadah dan bertentangan dengan UU.


Ilustrasi haji. Foto: Dok. Istimewa.

“Moratorium pendaftaran haji melanggar hak asasi manusia untuk beribadah karena dia dipaksa kehilangan kesempatan beribadah gara-gara waktu antrean yang lama,” ujar Ian.

Ian khawatir, jika moratorium diterapkan, akan terjadi fenomena perpindahan domisili calon jemaah. Calon jemaah hanya untuk mencari daerah yang masa tunggunya lebih singkat.

Dia mengatakan skema alokasi kuota berdasarkan waiting list dan menjadikan masa tunggu yang sama antarprovinsi adalah upaya untuk mencapai rasa keadilan yang merata di seluruh Indonesia.

“Seharusnya, kita berpikir dalam semangat NKRI. Di manapun jemaah mendaftar, semua jemaah akan memiliki masa tunggu yang sama,” pungkas Ian Heriyawan.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Fachri Audhia Hafiez)