Debat Deflasi

Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group. MI/Ebet

Debat Deflasi

Abdul Kohar • 9 October 2024 05:52

MANA yang benar dari perdebatan soal penyebab deflasi lima bulan beruntun terakhir di negeri ini: merosotnya daya beli atau kemampuan pemerintah mengendalikan harga, khususnya pangan? Jawabannya bergantung kepada siapa pertanyaan itu diajukan.

Bila pertanyaan itu diajukan kepada pemerintah, jawaban kedua, yakni kemampuan mengendalikan harga, yang kerap terlontar. Namun, bila pertanyaan itu disampaikan kepada masyarakat kelas menengah, para ekonom, juga pelaku usaha, mereka serempak menjawab daya beli merosotlah yang jadi biang keroknya.

Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis terjadi deflasi dalam lima bulan beruntun. Pada Mei 2024, terjadi deflasi sebesar 0,03%, lalu berlanjut pada Juni sebesar 0,08%, dan Juli sebesar 0,18%. Pada Agustus deflasi berlanjut lagi sebesar 0,03%, dan per September, deflasi makin dalam menjadi 0,12%.

Apa sesungguhnya pemicu deflasi beruntun itu versi pemerintah? Dengarkan pernyataan sejumlah pejabat berikut ini. Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan deflasi yang terjadi selama lima bulan itu masih sesuai dengan target pemerintah.

Deflasi terjadi, kata Susiwijono, akibat penurunan harga pangan yang sebelumnya bergejolak. Itu berarti deflasi justru menjadi indikasi keberhasilan pemerintah dalam menekan harga pangan yang sudah mengalami kenaikan tinggi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan penjelasan serupa. Deflasi lima bulan terakhir itu utamanya dikontribusikan penurunan harga pangan. Menurut Menkeu, itu juga merupakan perkembangan yang positif untuk menjaga belanja masyarakat menengah bawah yang mayoritas konsumsinya pada kelompok makanan.

Sri Mulyani mendasarkan penilaian itu dari inflasi inti yang berada di level di 2,09% pada September 2024. Itu artinya, permintaan masih tinggi. Meski tidak secara langsung mengatakan 'daya beli masih baik-baik saja', pernyataan Sri Mulyani itu menandakan pemerintah tidak terlalu risau dengan deflasi lima bulan beruntun.

Lalu, apa yang sesungguhnya terjadi versi kalangan di luar pemerintahan? Mereka serempak menyebut deflasi terjadi karena kian tergerusnya daya beli. Harga-harga sudah turun atau diturunkan, tapi tetap saja konsumen tak sanggup membeli.

Kalangan pengusaha ritel yang tergabung ke dalam Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), misalnya, mengungkapkan penjualan toko-toko ritel saat ini merosot drastis gara-gara pembeli merosot. "Karena produktivitas atau basket size dari konsumen turun, penjual berupaya untuk rebranding atau kemasannya diperkecil supaya turun juga harganya. Jadi, itulah yang membuat deflasi," kata Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey.

Jawaban itu sekaligus membantah pemerintah yang mengeklaim deflasi selama lima bulan berturut-turut itu disebabkan pemerintah memasok barang-barang pangan secara giat hingga menyebabkan harga-harga turun. Menurut Roy, meskipun barang dijual dengan kemasan yang kian mengecil supaya bisa dijangkau masyarakat, faktanya tetap saja tidak mampu menyedot pembeli. Itu artinya daya beli masyarakat tengah ambruk.

Data Aprindo menunjukkan penjualan berbagai toko ritel yang ada di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi atau Jabodetabek turun rata-rata 5%-6% per kuartal III 2024. Industri ritel di kawasan Jabodetabek selama ini memegang sepertiga penjualan ritel nasional. Untuk di wilayah selain kawasan Jawa, masih tumbuh 3%-4% pada kuartal III 2024.

Para analis ekonomi juga sudah memberikan peringatan telah terjadi pelemahan daya beli. Pertama, menurunnya kinerja industri manufaktur sehingga purchasing managers' index (PMI) manufaktur masuk ke zona kontraksi dari di level 50,7 pada Juni menjadi 49,3 di Juli 2024. Lalu, pada Agustus turun lagi jadi 48,90 poin, baru kemudian naik tipis di September, tapi masih di angka lesu, yakni 49,20 poin.

PMI manufaktur ialah indikator ekonomi yang menunjukkan tingkat ekspansi atau kontraksi sektor manufaktur. Angka PMI manufaktur yang berada di atas 50 mengindikasikan ekspansi, sedangkan angka di bawah 50 menunjukkan kontraksi.

Banyaknya PHK akibat melemahnya permintaan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri sehingga produksi tertahan dan ekspor menurun, juga mengindikasikan merosotnya daya beli. Menurunnya jumlah kelas menengah dari 57,3 juta orang pada 2019 menjadi 47,8 juta orang pada 2024 kian menegaskan bahwa daya beli kian merosot.

Sejalan dengan penurunan kelas menengah, angka kredit seret (non-performing loan/NPL) kredit pemilikan rumah (KPR) meningkat. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat rasio NPL properti yang naik sekitar 0,4% akhir tahun lalu.

Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) soal kemerosotan penjualan kendaraan sepanjang semester I 2024 juga indikator melemahnya daya beli. Selama paruh pertama 2024, penjualan kendaraan mencapai 408.012 unit. Angka penjualan itu turun 19,5% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai lebih dari 506 ribu unit.

Jadi, siapa pemenang debat soal penyebab deflasi lima bulan beruntun ini? Atau, sebenarnya pemerintah sudah tahu bahwa penurunan daya beli merupakan faktor penentu deflasi beruntun, tapi masih berusaha menghibur diri? Mari nikmati terus perdebatan selanjutnya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Eko Nordiansyah)