Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan pailit terhadap WNA asal Singapura, Rozita dan Ery Said (Foto:Dok.Metro TV)
Rosa Anggreati • 23 July 2024 18:12
Jakarta: Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan warga negara asing (WNA) asal Singapura, Rozita dan Ery Said, pailit dalam kasus penundaan kewajiban pembayaran (PKPU) yang diajukan empat pemohon, yaitu Arsjad Rasjid, Said Perdana Bin Abubakar Said, Indra P Said, dan Daud Kai Rizal.
Majelis hakim yang dipimpin Heneng Pujadi dan Betsji Siske Manoe itu memutuskan PKPU terhadap Rozita dan Ery dengan Nomor Perkara 226/PDT.SUS-PKPU/2023/PN.NIAGA.JKT.PST di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, pada Jumat, 31 Mei 2024.
Ery dan Rozita merupakan ahli waris dari Eka Said atau PT Krama Yudha yang digugat Arsjad terkait pembayaran utang senilai Rp700 miliar.
"Para pemohon PKPU ini adalah sepupu almarhum Pak Eka. Pak Eka ini suami dari Ibu Rozita, ayah dari Pak Eri. Jadi anak dan ibu ini melawan om-omnya. Masalah ini berawal dari akta Perjanjian Pemberian Bonus Nomor 78 tanggal 20 April 1998. Akta ini ditandatangani oleh almarhum H. Sjarnoebi Said, dia adalah ayah dari Pak Eka, mertua dari Ibu Rozita dan kakek Pak Eri. Pak Sjarnoebi sepakat memberikan bonus yang bersumber dari laba bersih PT Krama Yudha kepada empat orang saudaranya, tiga di antaranya adalah saudara Pak Sjarnoebi sendiri. Intinya Pak Sjarnoebi sepakat memberikan bonus 18 persen untuk kesejahteraan empat orang tersebut. Persentase pembagiannya 5 persen, 5 persen, 4 persen, 4 persen," kata Damianus Renjaan selaku kuasa hukum ahli waris pemegang saham PT Krama Yudha dalam program Kontroversi di Metro TV.
Dalam akta Perjanjian Pemberian Bonus Nomor 78 tanggal 20 April 1998 pada pasal 4 menyatakan pemberian bonus ini tidak wajib setiap tahun, tapi diusahakan diberikan setiap tahun. Frasa "diusahakan" ini berarti tidak wajib. Dan dari segi tujuan pemberian bonus ini adalah untuk kesejahteraan.
"Syarat bonus ini hanya diberikan sepanjang almarhum Pak Sjarnoebi masih menjadi pemegang saham mayoritas. Faktanya beliau sudah meninggal sejak 2001. Dengan meninggalnya beliau tentunya perjanjian ini sudah tidak berlaku lagi," katanya.
Damianus menjelaskan keempat pemohon dalam gugatannya setelah wafatnya Sjarnoebi dan kepemilikan saham diganti dengan almarhum Eka (anak tunggal Sjarnoebi), maka almarhum Eka dianggap tidak pernah melaksanakan isi akta tersebut selama 20 tahun sejak 2002 hingga 2022. Eka meninggal pada September 2022.
"Yang menjadi kontrovesi di sini karena seharusnya akta sudah tidak berlaku, seharusnya tidak bisa dipakai sebagai dasar, dan seharusnya hakim yang memutus perkara ini mempertimbangkan hal itu. Tapi ini diabaikan sama sekali, seperti dipaksa seolah-olah akta ini masih berlaku, ada utang, kemudian utang itu diminta dipertanggungjawabkan kepada ibu dan anak ini," ujarnya.
Terlebih di dalam akta tersebut tidak ada nama Rozita, Eka, maupun Ery. Bahkan, Ery pada saat akta itu dibuat usianya baru dua tahun.
"Selama Pak Eka hidup tidak pernah menagih utang apapun kepada Pak Eka. Setelah Pak Eka meninggal, ditagih ke istri dan anaknya, dianggap harus bertanggung jawab," tuturnya.
Kasus tersebut bergulir di Pengadilan Niaga dan pada 7 September 2023, Rozita dan Ery diputus PKPU. Artinya, gugatan pemohon dikabulkan.
"Yang kita sesalkan seharusnya ini tidak terjadi. Mereka pada saat itu belum memperoleh penetapan ahli waris. Bagaimana mungkin mereka dimintai pertanggungjawaban, sedangkan status sebagai ahli waris di Pengadilan Agama saat itu belum ada," katanya.
"Kemudian, pada 31 Mei 2024, diputus pailit karena pertama, dianggap seolah-olah kita tidak pernah mengajukan proposal perdamaian, padahal sudah kita ajukan. Kedua, seolah masih ada perselisihan tagihan sehingga permohonan pencabutan kita ditolak. Bahkan menariknya, keputusan pailit ini dijatuhkan pada hari ke-268. Padahal seharusnya melewati 270 hari dulu kalau mau dipailitkan," ucap Damianus.
Meski demikian, Damianus dan kliennya tetap gigih memperjuangkan keadilan. Mereka mengajukan kasasi.
"Kami mengajukan kasasi sesuai ketentuan yang berlaku. Harapan kami, Mahkamah Agung bisa melihat banyak sekali kontroversi. Banyak ketentuan yang dilanggar dilaksanakan oleh dua hakim yang terkesan sejak awal seolah menginginkan pailit karena mereka berdua yang memutus PKPU pada 7 September," katanya.
"Publik bisa menilai bahwa ini bisa terjadi pada siapa saja, orang yang tidak tahu apa-apa. Prinsip hukum kan jelas bahwa setiap orang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas apa yang tidak dilakukan maupun tidak diketahui sama sekali. Kami juga berharap karena proses ini lanjut ke pailit, di mana proses pailit ada verifikasi lagi, ada proses renvoi oleh hakim pemutus dua orang itu lagi. Maka menurut kami agar perkara ini objektif, sebaiknya mereka diganti saja," ucapnya menambahkan.
Rozita dan Ery, menurut Damianus, kecewa dan sedih karena seolah di Indonesia tidak ada kepastian hukum. Apalagi Rozita dan Ery bukan WNI, yang mestinya tidak bisa dijerat hukum Indonesia.
"Klien kami sangat sedih sekali. Beliau menyayangkan tidak ada kepastian hukum di Indonesia, bahkan seperti sulap apa yang tidak bisa menjadi bisa," ucapnya.
Sementara itu Prof Dr Hadi Shubhan, Guru Besar Hukum Kepailitan dan PKPU dari Universitas Airlangga menanggapi kasus ini dengan mengatakan, "Prinsip pertama bahwa putusan pengadilan Indonesia hanya berlaku di Indonesia. Jadi kalau subyeknya orang asing, maka tidak berlaku bagi orang asing itu."
Lebih lanjut Prof Hadi menjelaskan PKPU bertujuan merestrukturisasi utang dan pihak yang berutang ialah debitur, bukan utang orang lain.
"Jadi bagaimana mungkin seorang WNA di-PKPU-kan di Indonesia? Dimungkinkan dipailitkan jika memiliki harta kekayaan karena dia beroperasi atau berprofesi di Indonesia. Jadi kalau dia tidak berprofesi di Indonesia atau tidak memiliki kekayaan di Indonesia, tidak mungkin dipailitkan. Jadi PKPU tidak dimungkinkan berlaku untuk WNA. PKPU terhadap WNA ini kurang tepat," tegasnya.
Prof Hadi menyebutkan syarat pailit itu ada utang. Sementara, utang ini syaratnya ada tiga, yaitu tidak dibayar lunas, sudah jatuh waktu, dan dapat ditagih.
"Dapat ditagih ini berarti perjanjian itu bukan berasal dari perikatan alami. Kalau perikatan moral itu tidak bisa ditagih melalui kepailitan. Jadi penyelesaiannya bisa melalui gugatan waris, atau perbuatan melawan hukum. Bukan PKPU," ujarnya.
Dia menduga terdapat kesalahan dalam keputusan hakim. Jika pun hal itu terjadi, dalam sistem kepailitan terdapat yang namanya "corrective justice."
"Mungkin ada kesalahan dalam keputusan hakim. Makanya di sistem kepailitan kita ada corrective justice. Di PKPU tidak ada kasasi, tapi dengan putusan MK kalau yang mengajukan kreditur kemudian perdamaiannya ditolak itu bisa dilakukan kasasi dan hal itu ada di FGD Mahkamah Agung di Surabaya dan seterusnya," jelasnya.
"Perkembangan terakhir, bahwa putusan PKPU yang berakhir pailit karena perdamaian ditolak bisa dikasasi.
Kami sebagai akademisi memberikan kajian normatif untuk kebaikan para pencari keadilan. Bisa dilakukan corrective justice oleh pengadilan yang lebih tinggi sesuai hukum dan peradilan yang berlaku," ucapnya lagi.