Pemanasan Global. Foto: Unsplash.
Singapura: Asia Tenggara dianggap sudah keluar jalur investasi ramah lingkungan untuk mengurangi emisi global. Riset pun menunjukan kawasan ini memerlukan kebijakan baru untuk mengatasi pemanasan global.
Konsultan Global Bain & Company GenZero dan Standard Chartered menuturkan konsumsi energi di wilayah ini diperkirakan akan tumbuh sebesar 40 persen pada satu dekade. Selain itu emisi karbon dioksida akibat pemanasan iklim masih terus meningkat, dan wilayah ini masih bergantung pada bahan bakar fosil.
Meskipun investasi ramah lingkungan tumbuh sebesar 20 persen pada tahun lalu, jumlah tersebut masih jauh dari kebutuhan sebesar USD1,5 triliun pada dekade ini. Emisi di 10 negara di kawasan ini dapat melampaui janji mereka pada 2030 sebesar 32 persen jika mereka terus melanjutkan tren yang ada saat ini.
"Kami percaya percepatan upaya yang dilakukan oleh negara, perusahaan, dan investor sangat penting karena Asia Tenggara masih berada di luar jalur," kata Direktur Pelaksana GenZero Kimberly Tan, dilansir
Channel News Asia, Senin, 15 April 2024.
Energi ramah lingkungan hanya menyumbang 10 persen dari total pasokan, dan subsidi bahan bakar fosil lima kali lebih tinggi dibandingkan investasi energi terbarukan. Biaya modal yang tinggi, serta peraturan jaringan listrik dan tarif yang tidak menentu juga mempersulit pendanaan proyek energi terbarukan.
Menentukan harga karbon
Sementara itu, hanya empat dari 10 negara di kawasan ini Indonesia, Malaysia, Singapura dan Vietnam yang telah mencapai kemajuan dalam menentukan harga karbon. Laporan tersebut menyerukan lebih banyak kebijakan dan insentif, kerja sama regional yang lebih besar, dan fokus berkelanjutan pada teknologi yang sudah dapat diterapkan.
"Kabar baiknya adalah Asia Tenggara masih sangat awal dalam perjalanan dekarbonisasi, sehingga mereka mendapat manfaat dari banyaknya upaya untuk mengurangi emisi saat ini,” kata Tan.
Laporan tersebut mengidentifikasi 13 ide yang dapat diinvestasikan yang dapat menghasilkan pendapatan sebesar USD150 miliar pada 2030, termasuk pertanian berkelanjutan dan pembangkit listrik energi terbarukan berskala utilitas.
Menurut laporan pada bulan April oleh Dewan Pembangunan Ekonomi Singapura dan konsultan McKinsey kawasan Asia Tenggara adalah wilayah dengan kinerja terburuk kedua dalam hal investasi energi terbarukan, setelah Afrika Sub-Sahara.
Laporan tersebut mengatakan instalasi tenaga surya tahunan perlu ditingkatkan dari tingkat saat ini sebesar lima gigawatt menjadi 35 GW selama periode 2030-2050 jika janji net-zero regional ingin dipenuhi.
“Kami memiliki semua sumber daya, namun pembukaan belum terjadi,” kata Mitra senior McKinsey Vishal Agarwal.