Ilustrasi aktivitas pertambangan. Foto: MI/Angga Yuniar.
Jakarta: Pengamat energi dari Alpha Research dan Datacenter Ferdy Hasiman menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) terlalu akomodatif dengan memberi izin
tambang bagi organisasi keagamaan. Kebijakan itu disebutnya sarat akan kepentingan politik sesaat tanpa memperhitungkan dampak destruktif di masa depan.
"Tambang ini kan dampak destruktifnya sangat besar, lalu pemerintah ingin ormas yang kelola ini terlalu akomodatif. Ini benar-benar hanya untuk kepentingan Jokowi bukan kepentingan masyarakat, bukan kepentingan negara," ujar Ferdy kepada
Media Indonesia, Selasa, 11 Juni 2024.
Memasuki masa-masa akhir kepemimpinannya, kata Ferdy, Jokowi terlihat ingin mendapat dukungan dari organisasi keagamaan. Soft landing yang diharapkan itu justru berbalik dengan banyaknya kritikan bahkan penolakan dari organisasi keagamaan sendiri.
"Kan banyak ormas yang tolak itu karena memang mereka tidak ahli di bidang itu. Selain itu ormas kan urusannya pada umat ya, kalau sampai kelola tambang yang berdampak pada lingkungan masyarakat di sekitar lokasi itu lebih buruk lagi," kata dia.
Sarat akan kepentingan
Sementara itu, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Melky Nahar juga menyebut kebijakan pemerintah sarat akan kepentingan.
"Muatan kepentingannya jelas sekali. Dalih bahwa ini untuk kesejahteraan, jelas omong kosong. Tambang itu daya destruktifnya melampau masa tambangnya itu sendiri," ucap dia.
Lalu, PP 25/24 itu juga menunjukkan ketergantungan Indonesia terhadap
batu bara yang target produksi terus meningkat dari tahun ke tahun. Persisi di situlah corak kebijakan Jokowi selama 10 tahun berkuasa.
"PBNU, dengan pilihannya hari ini, bisa berdampak pada kehilangan legitimasi moral. Ia tak lagi bisa mengkritik sebab telah menjadi bagian dari pelaku," kata Melky.