Penahanan 4 Tersangka Pagar Laut Tangerang Ditangguhkan

Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Putro. Foto: Medcom.id/Siti Yona Hukmana

Penahanan 4 Tersangka Pagar Laut Tangerang Ditangguhkan

Siti Yona Hukmana • 25 April 2025 08:37

Jakarta: Polri menangguhkan penahanan empat tersangka kasus pemalsuan surat, untuk penerbitan 260 sertifikat hak milik (SHM) di wilayah pagar laut Tangerang. Penangguhan karena masa penahanan habis.

"Sehubungan sudah habisnya masa penahanan, maka penyidik akan menangguhkan penahanan kepada ke-4 tersangka (kasus Kohod Tangerang)," kata Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro dalam keterangan tertulis, Jumat, 25 April 2025.

Keempat tersangka adalah Kepala Desa (Kades) Kohod Arsin, Sekretaris Desa (Sekdes) Kohod Ujang Karta, dan dua penerima kuasa berinisial SP dan CE.

Keempatnya sempat ditahan di Rutan Bareskrim Polri. Mereka dikenakan Pasal 263 tentang tindak pidana pemalsuan surat dan atau Pasal 264 KUHP tentang Pemalsuan Akta Autentik dan atau Pasal 266 KUHP tentang Memasukkan Keterangan Palsu ke Dalam Akta Autentik juncto Pasal 55-56 KUHP tentang Turut Serta Melakukan, Membantu Melakukan.
 

Baca: Belum Sepaham dengan Kejagung, 9 Tersangka Kasus Pagar Laut Bekasi Tak Kunjung Ditahan

Masa penahanan ini habis di tengah berkas perkara bolak balik dikembalikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung). Kendala terjadi karena JPU meminta penyidik Dittipdium Bareskrim Polri melengkapi dengan pasal tindak pidana korupsi (tipikor).

Djuhandani mengatakan penyidik telah membaca teliti petunjuk JPU yang mengindikasikan adanya tindak pidana korupsi. Kemudian, penyidik menyatakan ada beberapa ketidaksesuaian analisa hukum Polri dengan Kejaksaan.

Pertama, berdasarkan Putusan MK Nomor: 256/PUU-XIV/2016, tanggal 25 Januari 2017, dalam pertimbangannya menyatakan bahwa tindak pidana korupsi harus ada kerugian nyata, sehingga terdapat konsekuensi hukum dari dihapuskannya kata “dapat” dalam frasa “dapat” merugikan kerugian negara” di Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Sehingga, kerugian negara secara nyata haruslah berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan RI (BPK RI) atau Badan Pengawas dan Keuangan Pembangunan (BPKP)," ujar Djuhandani.

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, secara eksplisit menyatakan bahwa yang dapat dikategorikan tindak pidana korupsi adalah yang melanggar Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi atau melanggar Undang-Undang lain yang secara tegas dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi.

"Terhadap adanya indikasi pemberian suap/gratifikasi kepada para penyelenggara negara saat ini sedang dilakukan penyelidikan oleh Kortas Tipikor Mabes Polri," ungkapnya.

Sedangkan, terhadap kejahatan atas kekayaan negara berupa pemagaran wilayah laut Desa Kohod, Tangerang tanpa izin dari pihak berwenang yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan atau kerugian masyarakat, tengah diselidiki Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri. Sebagaimana Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) nomor: SPDP/15/II/RES.1.24/2025/Tipiter, tanggal 19 Februari 2025.

Djuhandani melanjutkan sesuai asas “Lex Consumen Derograt Legi Konsumte“ yang berarti aturan yang digunakan adalah berdasarkan fakta-fakta yang dominan dalam suatu perkara. Sehingga, kata dia, bila melihat dari posisi kasus fakta yang dominan adalah pemalsuan dokumen.

"Di mana tidak menyebabkan kerugian nyata terhadap keuangan negara atau perekonomian negara, sehingga penyidik tetap berkeyakinan bahwa perkara a quo bukan merupakan perbuatan tindak pidana korupsi, karena yang mengalami kerugian adalah masyarakat nelayan," terang Djuhandani.

Terlebih, Djuhandani menyebut pihak Kejaksaan Negeri Cikarang telah menghentikan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi dalam jual beli wilayah laut di Desa Babelan Kec. Tarumajaya. Sedangkan, hasil penyidikan Dittipidum Bareskrim Polri terkait jual beli wilayah laut di Desa Babelan, Kec. Tarumajaya dan proses pensertifikatan telah terjadi dugaan tindak pidana pemalsuan surat.

"Dengan modus operandi yang sama dengan perkara di Desa Kohod Kec. Pakuhaji, sehingga hal ini kontradiktif dengan petunjuk JPU yang menyatakan bahwa perkara tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi," beber dia.

Dengan demikian, tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 263 KUHP diyakini telah nyata terjadi dan terpenuhi semua unsur. Baik secara formil maupun materiil.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(M Sholahadhin Azhar)