Presiden AS Donald Trump. Foto: The New York Times.
M Ilham Ramadhan Avisena • 16 July 2025 18:40
Jakarta: Kesepakatan
tarif dengan Amerika Serikat dinilai masih tetap merugikan Indonesia. Tarif yang dipatok di angka 19 persen dinilai masih cukup tinggi dan memberikan risiko terhadap neraca perdagangan nasional. Karenanya diversifikasi pasar, terutama dari Eropa perlu segera dilakukan.
"Pemerintah sebaiknya mendorong akses pasar ke Eropa sebagai bentuk diversifikasi pasar pasca IEU-CEPA disahkan. Begitu juga dengan pasar intra-ASEAN bisa didorong. Jangan terlalu bergantung pada ekspor ke AS karena hasil negosiasi tarif tetap merugikan posisi Indonesia," ujar Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira saat dihubungi, Rabu, 16 Juli 2025.
Kesepakatan tersebut juga dianggap dapat mendorong ketergantungan impor berlebihan dari AS. Itu karena sejumlah produk dari Negeri Paman Sam dapat masuk ke Indonesia tanpa ada pungutan biaya.
Bhima menjelaskan, meskipun ada keuntungan dari penurunan tarif untuk produk seperti alas kaki, pakaian jadi, CPO, dan karet, capaian ini masih tertinggal dibanding negara pesaing seperti Vietnam.
"Meskipun penurunan tarif Vietnam dari 46 persen ke 20 persen lebih signifikan dibanding penurunan tarif Indonesia yang sebelumnya 32 persen ke 19 persen. Negosiasi Vietnam lebih efektif dari Indonesia. Idealnya Indonesia bisa lebih turun lagi," tutur Bhima.
Di sisi lain, dia menyebutkan, beban terbesar dari kesepakatan justru datang dari sisi impor. Menurutnya, beberapa komoditas strategis dari AS seperti migas, produk elektronik, suku cadang pesawat, serealia, dan farmasi akan membengkakkan neraca impor Indonesia.
"Impor produk dari AS akan membengkak, salah satunya sektor migas, produk elektronik, suku cadang pesawat, serealia (gandum dan sebagainya), serta produk farmasi. Tercatat sepanjang 2024, total impor lima jenis produk ini mencapai USD5,37 miliar setara Rp87,3 triliun," ungkap dia.
Risiko pelebaran defisit migas
Bhima juga menyoroti secara khusus risiko pelebaran defisit migas yang berpotensi menekan kurs rupiah dan memperberat beban subsidi energi dalam RAPBN 2026. Menurut dia, hal yang harus dimonitor adalah pelebaran defisit migas, menekan kurs rupiah dan menyebabkan postur subsidi RAPBN 2026 untuk energi meningkat tajam.
"Alokasi subsidi energi 2026 yang sedang diajukan pemerintah Rp203,4 triliun, tentu tidak cukup. Setidaknya butuh Rp300 triliun-Rp320 triliun," kata Bhima.
"Ada kekhawatiran ujungnya Indonesia harus beli minyak dari AS lebih mahal dari harga pasar karena terikat hasil negosiasi dagang. Kalau Indonesia disuruh beli produk minyak dan LPG tapi harga nya di atas harga yang biasa dibeli Pertamina, repot juga," tambahnya.
Bhima juga menyoroti dampak dari masuknya produk serealia asal AS terhadap ketahanan pangan nasional. Menurutnya, walaupun konsumen mungkin akan menikmati harga mi instan dan roti yang lebih murah, produsen lokal bisa tertekan karena persaingan yang tidak seimbang.
"Bagaimana dengan masalah swasembada pangan, karena AS untung besar dari penetrasi ekspor gandum ke Indonesia karena tarif nol persen. Konsumen mungkin senang harga mi instan dan roti bakal turun, tapi produsen pangan lokal terimbas dampak negatifnya," jelas Bhima.