Ilustrasi. Medcom
Devi Harahap • 9 March 2025 15:54
Jakarta: Pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin yang membuka peluang tuntutan hukuman mati kepada tersangka kasus dugaan korupsi tata kelola minyak dan produk kilang di PT Pertamina, Subholding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023, dianggap sudah tepat. Pengamat Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar, mengatakan hukuman pidana mati pantas dijatuhkan kepada tersangka karena perbuatan tersebut sangat merugikan negara.
“Pasal 2 ayat 2 UU tipikor menyebutkan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan pada keadaan tertentu dapat dikenai hukuman maksimal pidana mati,” kata Fickar kepada Media Indonesia, Minggu, 9 Maret 2025.
Menurut Fickar, hukuman mati bisa diterapkan kepada para tersangka karena kasus korupsi tersebut terjadi pada 2018-2023, dengan kerugian yang negara yang sangat besar, beririsan dengan pandemi covid-19 yang terjadi pada 2020-2021.
“Pengertian keadaan tertentu itu adalah jika korupsi dilakukan pada waktu krisis moneter, bencana alam, dan dilakukan secara berulang. Jadi jika tipikor dilakukan pada saat covid-19, sangat mungkin dan berdasar jika dituntut hukuman mati, karena pandemi covid-19 juga dinyatakan sebagai bencana,” jelas dia.
Menurut dia, pernyataan dari Jaksa Agung itu perlu dikawal. Selain itu, Fickar menekankan negara sudah seharusnya mempertimbangkan pemberian kompensasi bagi masyarakat yang berdampak langsung pada kasus korupsi ini. Masyarakat bisa melakukan gugatan class action ke pengadilan.
“Masyarakat bisa menggugat ganti rugi kepada pemerintah melalui class action, bisa ikut menuntut Pertamina. Dan tuntutannya bisa bersama-sama JPU waktu dibacakan tuntutan hukuman. Hal ini sesuai dengan pasal 98 KUHAP tentang penggabungan gugatan perkara ganti rugi,” tutur dia.
Baca Juga:
Kejagung Buka Peluang Tuntutan Hukuman Mati dalam Kasus Korupsi Minyak Pertamina |