Podium MI: Panggung di Atas Luka

Dewan Redaksi Media Group Ahmad Punto. Foto: MI/Ebet.

Podium MI: Panggung di Atas Luka

Media Indonesia • 12 December 2025 06:28

IBARAT sebuah teater, dunia politik juga memiliki dua panggung. Panggung depan dan panggung belakang. Panggung depan ialah tempat menampilkan hal yang bagus-bagus dari para aktor politik. Baik citra diri maupun persona mereka. Namun, apa yang ditampilkan di atas panggung depan biasanya bukanlah realitas yang sesungguhnya alias palsu.

Realitas adanya di panggung belakang yang tak tertangkap oleh sorot lampu. Bagaimana para aktor politik itu berstrategi, bagaimana mereka kasak-kusuk bernegosiasi, membangun lobi, menyusun intrik, mengatur transaksi, bahkan merancang konflik, itu semua ada di panggung belakang. Jika politik ialah permainan persepsi, panggung belakang itulah dapur pengolah persepsi.

Publik sebagai penonton tidak tahu kenyataan di panggung belakang karena mereka sengaja dibius penampilan para aktor di panggung depan. Panggung dramaturgi politik direkayasa sedemikian rupa sehingga realitas seolah-olah bukan apa yang senyatanya terjadi, melainkan apa yang bisa dikesankan kepada khalayak.

Politik hari ini sangat bergantung pada citra dan framing, bukan lagi sekadar substansi. Kita bahkan mulai kerap kesulitan mencari keberadaan substansi sebuah isu atau peristiwa karena keburu disuguhi perang persepsi, adu pencitraan, dan lomba narsisme.

Baca juga: Editorial MI: Derita Rakyat bukan Ladang Konten

Dalam takaran yang pas, sesungguhnya pola-pola pencitraan dalam politik masih bisa dimaklumi. Serupa makanan, politik akan terasa hambar bila tidak ditambahkan bumbu-bumbu penyedap, termasuk bumbu pencitraan. Politik semestinya memang punya sisi-sisi atraktif sehingga ia tidak terlihat kotor dan kejam seperti yang kerap dipersepsikan banyak orang selama ini.

Namun, sekali lagi, takarannya harus pas. Ukuran dan batasan pencitraan mesti yang wajar. Jangan pula upaya memoles diri yang sejatinya lumrah dalam kancah politik itu menjadi kebablasan, apalagi salah arah.

Itulah yang terjadi saat ini. Atas nama citra, atas nama popularitas, mungkin juga demi menabung elektabilitas, banyak politikus dan pejabat yang melompati pagar etika serta rasa empati. Mereka bahkan tak malu melakukannya di tengah situasi krisis bencana, seperti yang kita saksikan saat bencana banjir di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, baru-baru ini.

Mereka tega mengeksploitasi tragedi, merangsek masuk ke ruang-ruang privat kesedihan, dan mengubah bencana menjadi etalase promosi diri. Bencana di Sumatra, yang semestinya menjadi alarm bagi kegagalan tata kelola lingkungan atau mitigasi, justru dibajak menjadi panggung depan politik mereka sendiri. Mereka membangun panggung teatris di atas duka, di atas luka.

Bencana hidrometeorologi di Sumbar. Foto: Antara.

Kiranya tak perlu saya sebut lagi contoh pejabat atau politikus yang telah 'memanfaatkan' bencana Sumatra menjadi panggung mereka. Masyarakat mungkin juga sudah malas, bahkan sebagian merasa muak, mendengar nama-nama itu terus-terusan disebut. Cukup sudah itu menjadi bukti bahwa pencitraan politik yang kebablasan itu memang ada dan terus diproduksi.

Pertanyaannya, mengapa banyak politikus melakukan itu? Mengapa ada pejabat yang mau bersusah payah (atau berakting) memanggul sekarung beras untuk diberikan kepada korban bencana, atau membantu mengepel lantai-lantai rumah yang dipenuhi lumpur sisa banjir, atau hal-hal lain yang terkesan mengekspresikan empati, tapi itu semua dilakukan di depan sorot kamera resolusi tinggi?

Jawabannya, barangkali karena mereka tidak memiliki rekam jejak kebijakan yang cukup mentereng untuk dijual, yang mereka jual ialah drama. Ketika prestasi nihil, drama ialah satu-satunya komoditas yang tersisa untuk bisa dijual demi mengerek citra.
Baca juga: Podium MI: Pak Bupati dan Tukang Sol Sepatu

Apakah selalu berhasil? Tidak juga. Mungkin ada yang berhasil atau berhasil sebagian, tapi banyak pula drama yang gagal memberikan hasil positif bagi si aktor. Alih-alih menerima apresiasi, mereka yang gagal dalam drama pencitraan malah mendapat cemoohan publik. Rasa simpati seketika berubah menjadi antipati manakala aroma ketidaktulusan yang menyengat tidak mampu ditutupi filter foto ataupun narasi dramatis para pendengung.

Sosiolog politik Ariel Heryanto pernah menyebut fenomena yang mirip seperti itu sebagai 'politik tontonan'. Sebagai tontonan, nilai utama seorang pemimpin diukur dari seberapa dramatis penampilannya di depan publik, bukan dari efektivitas kerjanya di belakang meja. 'Yang penting disorot, bukan yang penting tuntas', kira-kira begitu ringkasnya.

Betul, sesungguhnya yang ditunggu rakyat dari elite yang memiliki otoritas itu ialah kebijakan mitigasi yang solutif dan berjangka panjang, bukan kunjungan sesaat yang didramatisasi. Pada akhirnya nilai para pejabat dan politikus itu tidak akan diukur dari seberapa bagus foto mereka di lokasi bencana, tapi seberapa banyak nyawa yang bisa diselamatkan kebijakan yang mereka buat.

Jadi, sudahilah bermain sandiwara. Politik memang acap diibaratkan panggung sandiwara. Namun, menjadi politikus bukan berarti harus terus-menerus bersandiwara. Ada saatnya topeng harus dilepas. Ada saatnya kamera harus dimatikan demi menghormati duka sesama. Sungguh tidak elok membangun panggung di atas luka.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Anggi Tondi)