Podium MI: Pak Bupati dan Tukang Sol Sepatu

Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. Foto: MI/Ebet.

Podium MI: Pak Bupati dan Tukang Sol Sepatu

Media Indonesia • 11 December 2025 07:00

DALAM kitab An-Nawadir karya Syekh Syihabuddin Ahmad ibn Salamah Al Qulyubi dikisahkan seorang ulama sufi Abdullah bin Mubarak ihwal ibadah haji. Suatu ketika, setelah selesai menjalankan rukun Islam kelima itu, ia beristirahat dan tertidur. Ia bermimpi melihat dua malaikat turun dari langit dan mendengar percakapan keduanya.

"Berapa orang yang berhaji tahun ini?" tanya salah satu malaikat. "Enam ratus ribu jemaah," jawab malaikat yang ditanya. "Berapa banyak dari mereka yang diterima ibadah hajinya?" "Tidak satu pun."

Perbincangan itu membuat Abdullah tercekat. Ia bingung setengah mati kenapa ratusan ribu orang yang rela datang jauh-jauh dari berbagai belahan bumi, menempuh beragam kesulitan dan keletihan untuk menjalankan perintah Allah, hasilnya sia-sia belaka.

Dengan tubuh gemetar, Abdullah terus mendengarkan percakapan kedua malaikat. "Namun, ada seseorang, yang meskipun tidak datang, ibadah hajinya diterima dan seluruh dosanya diampuni." "Kenapa bisa begitu?" "Itu kehendak Allah." "Siapa orang itu?" "Ali bin Al Muwaffaq, tukang sol sepatu di Kota Dimasyq (Damaskus)."

Baca juga: Nasib Bupati Aceh Selatan Mirwan MS Usai Diberhentikan Sementara oleh Kemendagri

Ibadah haji selesai sudah, tapi Abdullah tak pulang ke rumah. Ia langsung menuju Damaskus, Suriah. Ia penasaran nian siapa gerangan orang yang tak berangkat haji, tapi malah menjadi haji mabrur. Singkat cerita, bertemulah ia dengan Ali bin Al Muwaffaq, tukang sol sepatu yang berpakaian lusuh. Abdullah bertanya, "Saya hendak tahu, adakah sesuatu yang telah Anda perbuat sehingga Anda berhak mendapatkan pahala haji mabrur, padahal Anda tidak berangkat haji?"

"Wah, saya sendiri tidak tahu, Tuan," jawab Ali. Lalu, Ali diminta mengisahkan kehidupannya. Ia bercerita bahwa sejak puluhan tahun lalu setiap hari menyisihkan uang hasil kerja sebagai tukang sol sepatu. Sedikit demi sedikit dari penghasilannya yang memang sedikit. ''Akhirnya pada tahun ini saya memiliki 350 dirham, cukup untuk berhaji. Saya sudah siap berhaji.''

Namun, takdir berkata lain. Ali batal berhaji. Ceritanya, suatu waktu istrinya yang tengah hamil mencium bau masakan yang sangat nikmat dan mengidam untuk mencicipi makanan itu. ''Cobalah kau cari, siapakah yang masak sehingga baunya begitu nikmat. Mintalah sedikit untukku,'' pinta sang istri kepada Ali.

Setelah mencari ke sana kemari, Ali mendapati bau masakan itu berasal dari sebuah gubuk reot yang nyaris ambruk. Di dalamnya ada seorang janda dengan enam anak sedang memasak. Ali pun mengutarakan keinginannya untuk membawa pulang barang sedikit masakan itu. Namun, sang janda menolak meski Ali siap membayar berapa pun harganya.

Bukannya pelit, bukan pula medit. Sang janda ogah berbagi karena daging yang ia masak halal untuk keluarganya, tapi haram untuk Ali meski sama-sama muslim. Daging itu berasal dari keledai yang mati, diambil sebagian untuk dimasak dan dimakan. Dengan menangis sesenggukan, sang janda terpaksa melakukan karena anak-anaknya tak tahan lagi menahan lapar. Sudah beberapa hari mereka tak makan.

Abdullah ikut menangis, lantas bergegas pulang. Tak lama kemudian, atas kesepakatan dengan istrinya, ia kembali ke gubuk sang janda dengan membawa makanan. Tak lupa, uang 350 dirham yang dikumpulkan bertahun-tahun untuk bisa berhaji ia berikan. "Pakailah uang ini. Gunakanlah untuk usaha agar engkau tidak kelaparan lagi."

Ali sungguh mulia. Ia rela tidak jadi berhaji, batal menjalankan ibadah ritual yang ia nanti-nantikan demi mengutamakan ibadah sosial. Ia tak sampai hati untuk tetap berhaji sementara ada yang setengah mati berjuang agar tetap hidup.

Kisah itu baru saja tersaji di depan mata kita. Di Aceh Selatan tepatnya. Kita tahu, wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat luluh lantak dihantam banjir bandang akibat keserakahan para penjahat lingkungan. Sekitar seribu orang kehilangan nyawa dan ratusan luka-luka. Jangan tanya soal kerusakan. Sungguh mengerikan.

Di situlah ibadah sosial sangat dibutuhkan. Namun, bagi seseorang bernama Mirwan MS tidak demikian. Mirwan bukan Ali yang cuma tukang sol sepatu. Ia elite, kaya, orang nomor satu di Kabupaten Aceh Selatan yang 11 kecamatan di antaranya diterjang banjir dahsyat. Banyak sekali rakyat yang menderita di sana. Mayat-mayat bergelimpangan, yang selamat pun belum tentu akan tetap hidup. Berhari-hari mereka tak makan, kelaparan, dan putus asa menunggu bantuan.
Baca juga: Baital Mukadis Ditunjuk Jadi Plt Bupati Aceh Selatan

Namun, bagi Mirwan, semua itu tak menyentuh kalbu. Pada Selasa (2/12), ia memilih berangkat umrah bersama keluarga, lima hari setelah menerbitkan surat ketidaksanggupan dalam penanganan darurat banjir dan longsor. Di Mekah sana, ia pasti tidur di kasur empuk di kamar hotel sejuk ber-AC, sementara rakyatnya melewati hari-hari teramat panjang di tengah kegelapan, serbuan nyamuk, dan bau busuk.

Di Tanah Suci sana, Mirwan dan keluarga pasti menyantap makanan yang enak-enak, sementara rakyatnya di Aceh Selatan untuk makan seadanya pun susah. Di Masjidil Haram, Pak Bupati asyik berfoto dengan sang istri dengan raut gembira, sementara rekaman tragedi di Aceh Selatan mengoyak air mata. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

Sebagai ibadah ritual, umrah ialah haji kecil. Hukumnya sunnah muakkadah (sangat dianjurkan). Hampir wajib, bukan wajib. Ia baik, tapi ibadah sosial juga baik, bahkan lebih baik dan lebih utama untuk ditunaikan ketika situasi memanggil. Itulah teladan Ali yang rela tak jadi berhaji demi menolong yang papa. Itulah yang seharusnya dilakukan di tengah bencana Sumatra. Oleh seluruh umat, apalagi pejabat.

Diterimakah ibadah umrah Pak Bupati? Dapat pahalakah dia? Wallahu a'lam bish-shawab. Hanya Allah yang tahu. Yang pasti sebagai pemimpin, sebagai kepala daerah, dosanya tak kecil. Plueng nibak tanggung jawab. Lari dari tanggung jawab. Desersi kalau di dunia serdadu.

Mirwan memang sudah minta maaf, tapi itu jauh dari cukup. Kemendagri sudah pula memberhentikannya sementara selama tiga bulan, tetapi sanksi itu dinilai terlampau enteng. Ini soal moral.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Anggi Tondi)