Peradilan Militer Disebut Bukan untuk Mengadili Kejahatan Umum

Ilustrasi. Metrotvnews.com.

Peradilan Militer Disebut Bukan untuk Mengadili Kejahatan Umum

Deny Irwanto • 20 March 2025 07:36

Jakarta: Kasus kekerasan berujung kematian yang melibatkan anggota TNI kembali terjadi di Aceh Utara beberapa waktu lalu. Seorang oknum anggota TNI Angkatan Laut (AL) Pangkalan TNI AL (Lanal) Lhokseumawe, Kelasi Dua (Kld) DI ditahan atas dugaan penembakan yang menewaskan seorang warga Kabupaten Aceh Utara, Hasfiani alias Imam lantaran ingin menguasai mobil korban.

Pada hari yang sama, tiga anggota Polri tewas diberondong peluru oleh oknum TNI saat menggerebek sabung ayam di Way Kanan, Lampung. Salah satu korban adalah Kapolsek Negara Batin, IPTU Lusiyanto, bersama dua anggotanya, Bripka Petrus dan Bripda Ghalib.
 

Baca: Jika RUU TNI Disahkan, 2.569 TNI Aktif di Jabatan Sipil Harus Siap Mundur
 
Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, mengatakan peristiwa ini menjadi bukti lemahnya pengawasan terhadap institusi TNI dan masih berlakunya impunitas bagi anggotanya. Penggunaan senjata api yang menargetkan warga sipil dan aparat penegak hukum, apapun alasannya tidak dapat dibenarkan. 

"Penembakan yang mengakibatkan jatuhnya korban sipil bukan kali ini saja. Dalam catatan kami, sepanjang tahun 2024 sampai saat ini telah terjadi setidaknya sepuluh kasus penembakan yang dilakukan oleh TNI," kata Ardi dalam keterangan pers, Selasa, 19 Maret 2025. 

Menurutnya Revisi UU TNI tak sentuh reformasi peradilan militer. Pasalnya alih-alih memperkuat pengawasan dan akuntabilitas, pemerintah justru berupaya mengubah Pasal 65 ayat (2) UU TNI, yang menyatakan bahwa prajurit tunduk pada peradilan militer dalam kasus pidana militer dan pidana umum. 

Ardi menyebut hal ini bertentangan dengan amanat TAP MPR No. VII Tahun 2000 dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang mengharuskan prajurit tunduk pada peradilan umum untuk kasus pidana umum.

"Seharusnya peradilan militer hanya berwenang mengadili kejahatan tindak pidana militer saja, bukan tindak pidana atau kejahatan umum," jelasnya.

Imparsial mendesak pemerintah dan DPR menghentikan upaya memperluas kewenangan TNI melalui revisi UU TNI yang tidak sesuai dengan semangat reformasi. Sebaliknya, revisi UU TNI harus berfokus pada penguatan pengawasan dan akuntabilitas dalam penegakan hukum bagi prajurit TNI. 

"Revisi UU TNI seharusnya juga merevisi Pasal 74 yang menyebabkan terhambatnya proses reformasi peradilan militer saat ini," ungkapnya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Deny Irwanto)