(Opini) Rencana Evakuasi 1.000 Warga Gaza: Niat Baik yang Butuh Strategi Matang

Anak-anak di Gaza menderita akibat serangan Israel. Foto: Anadolu

(Opini) Rencana Evakuasi 1.000 Warga Gaza: Niat Baik yang Butuh Strategi Matang

Willy Haryono • 15 April 2025 13:38

Jakarta: Rencana Presiden Prabowo Subianto untuk mengevakuasi 1.000 warga Palestina dari Gaza ke Indonesia menuai beragam tanggapan. Di satu sisi, banyak pihak mengapresiasi inisiatif ini sebagai wujud nyata solidaritas Indonesia terhadap penderitaan rakyat Palestina. Namun di sisi lain, sejumlah suara kritis bermunculan, mempertanyakan apakah langkah ini benar-benar bijak secara strategis dan politis, terlebih di tengah krisis berkepanjangan yang kian kompleks di Gaza.

Tidak bisa disangkal, niat Indonesia untuk membantu warga sipil Palestina patut diapresiasi. Indonesia konsisten mendukung kemerdekaan Palestina dan menolak segala bentuk penjajahan oleh Israel.

Indonesia menempatkan isu Palestina sebagai salah satu pilar moral dalam politik luar negeri bebas aktif sejak lama. Rencana evakuasi warga sipil yang terluka, terutama anak-anak dan perempuan dari Gaza, jelas mencerminkan semangat kemanusiaan yang tulus.

Namun, membantu pun membutuhkan strategi. Sebagaimana disampaikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan berbagai kelompok masyarakat, ada kekhawatiran bahwa jika warga Gaza dievakuasi dalam jumlah signifikan, Israel bisa memanfaatkan situasi tersebut untuk semakin menguasai wilayah kosong.

Nego tarif impor AS?

Sejarah telah berulang kali menunjukkan bahwa pengosongan wilayah kerap menjadi awal dari proses aneksasi yang sistematis. Maka, meski niatnya baik, langkah evakuasi ini mesti dijalankan dengan kesadaran penuh akan konsekuensi geopolitiknya.

Pemerintah sendiri telah menyatakan bahwa evakuasi ini bersifat sementara—bukan relokasi atau pemindahan permanen. Setelah mendapat perawatan, warga Palestina tersebut akan dipulangkan ke Gaza.

Namun dalam praktiknya, pertanyaan lanjutan muncul: apakah pemulangan itu benar-benar bisa dilakukan dengan aman? Apakah Israel akan mengizinkan mereka kembali? Apakah infrastruktur Gaza nanti masih bisa menerima mereka kembali? Semua pertanyaan ini harus dijawab dengan perencanaan matang dan komunikasi diplomatik yang transparan.

Di tengah kegaduhan ini, muncul pula spekulasi liar di ruang publik: benarkah ini bagian dari ‘nego’ Indonesia dengan Amerika Serikat? Ada yang menduga, langkah evakuasi ini dilakukan agar Indonesia mendapat keringanan tarif impor dari AS.

Secara logika geopolitik, wajar jika masyarakat mengaitkan kepedulian kemanusiaan dengan diplomasi dagang—apalagi dalam dunia yang semakin transaksional.

Namun, hingga kini belum ada bukti konkret untuk mendukung spekulasi semacam itu. Tanpa data yang jelas, menuding adanya barter politik hanya akan mengaburkan diskusi dan menambah ketidakpercayaan publik terhadap kebijakan luar negeri kita.

Garda terdepan

Rencana evakuasi ini merupakan langkah berisiko yang hanya akan berdampak positif jika dijalankan dengan kehati-hatian tinggi. Jika berhasil, Indonesia bisa memperkuat citra globalnya sebagai negara yang berani bertindak dan memiliki empati tinggi. Tapi jika gagal -,atau jika dipersepsikan keliru oleh dunia Arab maupun rakyat Palestina sendiri,- reputasi Indonesia bisa terganggu, dan komitmennya terhadap Palestina bisa diragukan.

Salah satu solusi untuk masalah ini adalah dengan mendorong mekanisme kolaboratif. Indonesia sebaiknya tidak bergerak sendiri, tetapi menggandeng otoritas Palestina, UNRWA, Mesir, Qatar, dan organisasi kemanusiaan internasional lainnya perihal evakuasi ini.

Dengan langkah kolektif seperti itu, evakuasi akan dipandang sebagai misi kemanusiaan global, bukan manuver politis. Selain itu, Indonesia juga bisa mempertimbangkan membangun rumah sakit lapangan atau zona aman di wilayah perbatasan, sehingga bantuan medis bisa diberikan tanpa memindahkan warga Palestina terlalu jauh dari tanah mereka.

Pada akhirnya, niat baik saja tidak cukup. Dunia diplomasi adalah arena rumit yang menuntut setiap tindakan memiliki bobot strategis.

Indonesia memang harus tetap berada di garda terdepan dalam membela hak-hak rakyat Palestina. Tapi dalam melakukannya, kita juga tidak boleh kehilangan akal dan kehati-hatian. Sebab satu langkah salah, bisa membuat bantuan kita kehilangan makna—dan justru memperburuk luka yang ingin kita sembuhkan.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Willy Haryono)