KEKUATAN generasi Z atau yang kerap disebut gen Z rupanya tidak main-main. Mereka yang selama ini kerap dikesankan manja, menyebalkan, sering disangka punya mental yang tak setangguh generasi-generasi sebelumnya, kiranya punya simpanan kekuatan dahsyat. Kekuatan yang ketika diledakkan mampu mengguncangkan seluruh negeri.
Apa yang terjadi di Nepal ialah pembuktian atas hal itu. Ketika rakyat dengan dimotori remaja gen Z bersuara dan bergerak, mengekspresikan puncak kemarahan mereka terhadap gaya hidup hedon dan korupsi para elite, kekuasaan pun berhasil mereka goyang. Bahkan tak sekadar goyang, pemerintah Nepal akhirnya jatuh bersama dengan mundurnya Perdana Menteri Khadga Prasad Sharma Oli.
Sesungguhnya sudah lama rakyat Nepal, termasuk di dalamnya gen Z, memendam bara kemarahan kepada pemerintah. Namun, selama ini mereka masih menyimpan bara itu di bawah sekam. Rakyat marah karena ketidakadilan dan kesenjangan sosial ekonomi yang begitu telanjang terus terjadi selama bertahun-tahun. Di depan mata, jurang antara kaum kaya dan kaum miskin kian menganga. Orang sampai frustrasi untuk mendapatkan pekerjaan. Di lain sisi, korupsi dan nepotisme merajalela di lingkaran kekuasaan.
Dalam situasi ketidakadilan seperti itu, para elite dan pejabat malah bertindak layaknya pemimpin tanpa empati. Mereka dimabukkan kekuasaan. Bayangkan saja, ketika sebagian rakyatnya miskin dan kelaparan, elite-elite itu justru sibuk memperkaya diri dan bermanuver untuk melanggengkan kekuasaan. Mereka seolah tak peduli dengan angka kemiskinan dan pengangguran yang terus tinggi.
Begitu pun dengan kelakuan keluarga dan anak-anak pejabat yang diolok-olok dengan sebutan nepo babies. Mereka juga nirempati, doyan flexing alias pamer harta dan gaya hidup mewah di media sosial. Mereka kerap ke luar negeri untuk berlibur dan menikmati fasilitas yang wah, sementara pada saat sama jutaan warga Nepal terpaksa ke luar negeri untuk cari penghidupan dan pekerjaan layak.
Tumpukan persoalan dan ketidakadilan itulah yang membuat gen Z mulai bergerak. Ketidakpuasan mereka terhadap pemerintah kian menggunung dan berujung menjadi ketidakpercayaan. Mereka melawan dengan cara mereka. Sesuai dengan khasnya sebagai anak muda yang melek teknologi, mereka memaksimalkan ruang digital sebagai senjata utama.
Di ruang itulah mereka memimpin kampanye yang menyoroti jebloknya kinerja dan sistem pemerintahan di Nepal yang menciptakan ketidakadilan. Mereka bergerak bareng mengkritik perilaku nirempati dari para pejabat dan nepo babies. Media sosial menjadi wadah kaum gen Z menyalurkan aspirasi, keresahan, bahkan kemuakan mereka terhadap pemerintah dan kroni-kroni mereka.
Lalu, momentum itu pun tiba. Keputusan pemerintah Nepal menutup 26 platform media sosial pada awal September menjadi katalisnya. Penguasa yang gerah dengan gelombang kritik di media sosial merasa terpojok oleh sindiran dan hujatan yang dilontarkan ke keluarga mereka, mengambil kebijakan ceroboh dengan memblokir akses media sosial.
Keputusan yang dinarasikan sebagai langkah untuk 'memberantas berita palsu dan ujaran kebencian' itu ibarat percikan api yang menyulut kobaran kemarahan rakyat Nepal semakin membesar. Pemblokiran platform media sosial dianggap sebagai upaya sistematis pemerintah membungkam kritik sekaligus memutus komunikasi, terutama di kalangan generasi muda yang kritis.
Kian menumpuklah kemarahan itu. Ketika ruang digital ditutup, tidak ada jalan lain, ruang jalanan menjadi pilihan. Hadirlah gerakan 'Revolusi Gen Z' lewat demonstrasi yang, sayangnya, berakhir rusuh dan memakan korban jiwa karena respons aparat yang kelewat represif. Hingga Kamis (11/9), korban tewas akibat protes keras di Nepal mencapai 31 orang.
Kisah amuk di Nepal, mau tidak mau, mengingatkan pada kejadian serupa di Indonesia, pada akhir Agustus lalu. Hanya berselang sepekan sebelum kerusuhan di Nepal.
Katalisnya memang beda, protes di Indonesia tidak dipicu penutupan platform media sosial, tapi ulah sejumlah anggota DPR yang omongan dan 'jogetannya' dianggap melukai perasaan rakyat yang tengah ditekan kesulitan ekonomi.
Namun, akar masalahnya di Indonesia dan Nepal amatlah mirip, yaitu perkara ketidakadilan sosial ekonomi yang kian lebar, korupsi dan nepotisme yang terus mengikis kepercayaan, dan nihilnya empati dari sebagian pejabat publik. Artinya, pemerintah dan parlemen di Indonesia yang saat ini katanya sedang berbenah harus mengambil pelajaran amat penting dari dua peristiwa amuk massa tersebut.
Jangan melawan kehendak rakyat, apalagi mengejeknya dengan sebutan tolol. Jangan lagi beri rakyat harapan palsu, tapi tunjukkan aksi yang nyata sesuai dengan tuntutan yang mereka sampaikan. Jangan menunggu bara di dalam sekam keburu membesar, malah semestinya bara-bara kecil yang bisa menjadi bibit api kemarahan itu bisa cepat diredam.
Pelajaran lain ialah terkait dengan kekuatan gen Z. Seperti disebutkan di awal tulisan ini, terutama dalam peristiwa di Nepal, terbukti bahwa gen Z memiliki kekuatan yang tak bisa dianggap remeh. Sebagai kelompok yang paling aktif di media sosial, kritis, dan cepat merespons isu ketidakadilan, mereka terbukti mampu menjadi motor perjuangan.
Dengan kekuatan itu, gen Z jangan dilawan, tapi dikelola dengan tepat sehingga menjadi pilar penguat demokrasi di Indonesia. Untuk bisa mengelolanya, tentu ada syaratnya: pemerintah harus memastikan ruang digital sebagai habitat utama kaum gen Z tetap demokratis. Jangan pernah tutup ruang ekspresi digital mereka sebab di ruang itulah mereka biasa menyusun kekuatan.