PM Papua Nugini, James Marape (Kiri) dan PM Israel, Benjamin Netanyahu. (Dok. Pemerintah Israel)
Riza Aslam Khaeron • 16 September 2025 14:05
Jakarta: Papua Nugini (PNG), salah satu tetangga terdekat Indonesia, menjadi sorotan dalam Sidang Majelis Umum PBB setelah secara terang-terangan menolak Deklarasi New York yang disahkan pada 12 September 2025.
Deklarasi tersebut berisi seruan global untuk mendukung solusi dua negara dan mendesak pengakuan internasional terhadap Negara Palestina berdasarkan perbatasan 1967. Dari 164 negara yang memberikan suara, 142 mendukung, 10 menolak, dan 12 abstain.
PNG termasuk dalam kelompok kecil penolak bersama Israel, Amerika Serikat, Argentina, Hungaria, dan beberapa negara kepulauan Pasifik lainnya.
Apa alasan di balik keputusan ini? Berikut pembahasannya.
Papua Nugini Konsisten Dukung Israel
PNG menunjukkan dukungan nyata terhadap Israel melalui berbagai langkah diplomatik sejak 2023. Pada September 2023, negara tersebut menjadi salah satu dari sedikit negara yang secara resmi membuka Kedutaan Besar di Yerusalem.
Dalam pernyataannya pada 15 Agustus 2025, Perdana Menteri (PM) PNG, James Marape menyatakan bahwa negaranya secara konsisten berdiri mendukung Israel.
“Papua Nugini termasuk salah satu dari sedikit negara yang secara konsisten berdiri mendukung Israel,” ujar Perdana Menteri Marape
Kebenaran pernyataan tersebut dapat diperhatikan dari catatan Papua Nugini dalam voting Sidang Majelis Umum PBB, Yakni:
- 12 Desember 2023: Menolak resolusi PBB yang menyerukan gencatan senjata kemanusiaan segera di Gaza.
- 10 Mei 2024: Menolak resolusi pemberian keanggotaan penuh PBB bagi Palestina.
- 18 September 2024: Menolak usulan pengakhiran okupasi Israel di Palestina dalam pertemuan darurat PBB
- Desember 2024 & 12 Juni 2025: Kembali berada di blok penolak resolusi gencatan senjata di Gaza.
- 12 September 2025: Menolak Deklarasi New York yang mendukung solusi dua negara dan pengakuan Palestina merdeka.
Marape menyatakan bahwa PNG mendukung perdamaian di Palestina. Namun dalam pernyataan-pernyataannya, ia tidak menyinggung tingginya jumlah korban sipil maupun dugaan pelanggaran hukum humaniter internasional oleh Israel.
Sebaliknya, ia menegaskan bahwa tanggung jawab utama atas konflik yang telah berlangsung hampir dua tahun sepenuhnya berada di tangan Hamas.
“Hamas harus bertanggung jawab, menghentikan pertempuran, membebaskan para sandera, dan menunjukkan komitmen nyata terhadap perdamaian,” tegas Marape.
“Hanya dengan demikian komunitas internasional, termasuk PNG, dapat bekerja secara efektif bersama Israel dan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memulihkan keamanan, membangun kembali kehidupan, dan menemukan solusi jangka panjang bagi Israel dan Palestina,” tambahnya.
Mayoritas Kristen dan Dukungan Gereja Papua untuk Israel
PNG merupakan negara dengan mayoritas penduduk Kristen yang sangat taat. Berdasarkan United States Institute of Peace (USIP), setidaknya 96% penduduk negara ini memeluk agama Kristen, dengan dominasi gereja-gereja Protestan, Evangelis, dan Katolik. Karena itu, USIP menyebut agama Kristen telah mempengaruhi instusi, budaya, politik, dan bahkan kebijakan luar negeri PNG.
Organisasi-organisasi lobi pro-Israel seperti International Christian Embassy Jerusalem (ICEJ), telah lama menyuarakan narasi-narasi pro-Israel dan mendorong agar
PNG membuka kedutaan untuk Israel di Yerusalem.
"Saya menyampaikan permintaan bangsa Yahudi melalui markas ICEJ, untuk bantuan dari Papua Nugini," ujar Direktur Cabang ICEJ di Papua Nugini, Pastor Peter Harut pada tahun 2021, melansir the National.
Dukungan tersebut juga datang dari gereja-gereja lokal Papua Nugini. Melansir Postcourier pada 7 September 2023, PM Marape akhirnya membuka kedutaan Papua Nugini di Yerusalem, sebagai respons dari gereja-gereja lokal yang telah lama melobi agar
PNG menjalin hubungan lebih erat dengan Israel.
Karena itulah pada tahun 2023, sejumlah pastor dan pejabat gereja turut diundang dalam acara pembukaan kedutaan PNG di Yerusalem.
Pemerintah
PNG juga menyatakan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel, yang merupakan kepanjangan dari membuka kedutaan di kota yang diperebutkan tersebut, berdasarkan dari klaim dari Alkitab dan sejarah sekular.