SANKSI peringatan keras bagi Ketua, Sekjen, dan empat anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI terkait dengan penyewaan dan penggunaan jet pribadi sangat mengecewakan publik. Sanksi itu tidak sepadan dengan Rp90 miliar dana APBN yang dikuras untuk menyewa jet pribadi tersebut. Terlebih lagi, terbukti tidak satu pun dari 59 kali perjalanan dengan pesawat jet itu sesuai tujuan penyewaannya.
Sanksi peringatan keras yang dijatuhkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada pekan lalu jelas terlalu ringan untuk sebuah pelanggaran sebagaimana yang tergambar dalam sidang DKPP itu. Dalam sidang putusan perkara, tergambar jelas betapa kesalahan telak telah dilakukan bersama-sama oleh ketua, sekretaris jenderal (sekjen), serta keempat komisioner tersebut.
Pertama, dari sejumlah tipe jet pribadi yang ada, KPU memilih menyewa jet dengan jenis mewah, yakni Embraer Legacy 650. Penyewaan jet itu disebutkan untuk distribusi logistik serta monitoring dan evaluasi logistik Pemilu 2024.
 
Namun, bukti perjalanan tidak menunjukkan kegiatan distribusi logistik sebagaimana dimaksud, melainkan monitoring gudang logistik ke beberapa daerah, menghadiri bimbingan teknis Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), penyerahan santunan untuk petugas badan ad hoc, hingga monitoring pemungutan suara ulang di Kuala Lumpur, Malaysia.
Dengan sederet bukti tersebut, sangat aneh ketika DKPP tidak memilih sanksi yang benar-benar tegas. Sanksi yang diputuskan itu oleh sebagian publik dinilai sekadar terdengar garang, tapi tanpa implikasi nyata pada pelanggar.
Bukan hanya pemecatan atau pemberhentian tetap, senjata pamungkas DKPP ialah memastikan penyelenggaraan pemilu ke depan lebih bersih. Maka, vonis yang paling tinggi mestinya mereka dinilai tidak memenuhi kualifikasi sebagai penyelenggara pemilu untuk saat ini dan masa depan.
Namun, karena sanksi yang ada masih berlevel melempem, seharusnya kasus itu segera diusut dalam aspek adanya pelanggaran pidana. Hal tersebut amat mungkin terjadi. Dengan demikian, kasus penyewaan jet pribadi ini mestinya pantang dikerdilkan sebatas pelanggaran etika dan administrasi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mengusut kasus itu dengan tuntas, berikut mengusut pula segala kejanggalan yang mungkin terjadi. Segala kemungkinan adanya tindak pidana korupsi harus bisa diungkap dan seluruh orang yang terkait dengan itu harus dibawa hingga ke pengadilan.

Apalagi, sudah ada laporan masyarakat masuk ke KPK. Lembaga antirasuah tidak boleh sekadar menghibur publik dengan mengatakan bahwa semua laporan masyarakat akan ditindaklanjuti. KPK mesti benar-benar menindaklanjutinya dengan mengusut, menyelidiki, dan menyidik kasus tersebut dengan rentang waktu yang jelas.
Negeri ini tidak boleh selalu mempertaruhkan kualitas demokrasi dengan integritas penyelenggara pemilu yang rapuh. Bila itu yang terus-menerus terjadi, kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi selalu rendah. Kita mesti mendobrak kebiasaan buruk tersebut.