Penahanan Aktivis pro-Palestina Mahmoud Khalil, Bukti Nyata Rasisme AS?

Mahmoud Khalil, seorang pemimpin protes kampus di Columbia University. Foto: Anadolu

Penahanan Aktivis pro-Palestina Mahmoud Khalil, Bukti Nyata Rasisme AS?

Fajar Nugraha • 14 March 2025 15:58

New York: Mahmoud Khalil, warga negara Aljazair keturunan Palestina, ditangkap pada hari Sabtu oleh Imigrasi dan Penegakan Bea Cukai AS (ICE) di apartemennya milik Columbia University di Manhattan bagian atas di New York City, Amerika Serikat (AS).

Lulusan dari Sekolah Hubungan Internasional dan Publik universitas tersebut, Khalil telah menjadi tokoh terkemuka dalam aktivisme pro-Palestina di Columbia, termasuk Perkemahan Solidaritas Gaza.

Pada tahun 2024, perkemahan mahasiswa pro-Palestina muncul di seluruh AS sebagai bagian dari protes yang lebih luas terhadap serangan Israel di Palestina. Perkemahan ini merupakan komponen utama dari gerakan yang dipimpin mahasiswa yang menuntut agar universitas menarik diri dari perusahaan yang mendukung Israel.

Khalil, penduduk tetap sah AS, telah menjadi tokoh terkemuka dalam gerakan ini.

“Penangkapannya telah memicu kemarahan yang meluas, menimbulkan pertanyaan tentang kebebasan berbicara, kebijakan imigrasi, dan penargetan aktivis,” sebut laporan Anadolu, Jumat 14 Maret 2025.

Aktivisme Khalil membuatnya menjadi sasaran yang terlihat di tengah meningkatnya ketegangan atas protes kampus dan tindakan keras pemerintahan Trump terhadap apa yang dianggapnya sebagai aktivitas "anti-Amerika".

Mengapa Khalil ditahan?

Penangkapan Khalil menyusul perintah eksekutif oleh Presiden AS Donald Trump yang menargetkan "aktivitas pro-teroris, anti-Semit, anti-Amerika" di kampus-kampus.

"Kami tahu ada lebih banyak mahasiswa di Columbia dan Universitas lain di seluruh Negara yang terlibat dalam aktivitas pro-teroris, anti-Semit, anti-Amerika, dan Pemerintahan Trump tidak akan menoleransinya," kata Trump.

Pihak berwenang awalnya mencoba mencabut visa Khalil tetapi kemudian mengetahui bahwa ia adalah penduduk tetap dan bergerak untuk mencabut kartu hijaunya, dengan Departemen Keamanan Dalam Negeri menuduhnya melakukan aktivitas yang "berpihak pada" kelompok Palestina, Hamas.

Menteri Luar Negeri Marco Rubio membela langkah tersebut, dengan menyatakan: "Datang ke Amerika Serikat dengan visa adalah hak istimewa, bukan hak, dan menuduh Khalil mendukung Hamas”.

Trump menyebut penahanan Khalil sebagai "penangkapan pertama dari banyak penangkapan," yang menandakan tindakan keras yang lebih luas terhadap aktivisme pro-Palestina.

Selain itu, Trump telah menargetkan Columbia University, mempertanyakan apakah universitas tersebut telah melakukan cukup banyak hal untuk mencegah apa yang ia gambarkan sebagai insiden antisemit. Awal bulan ini, pemerintahannya membatalkan hibah dan kontrak federal senilai USD400 juta untuk institusi tersebut.

Proses peradilan

Khalil pertama kali ditahan di New Jersey sebelum dipindahkan ke Pusat Penahanan LaSalle di Louisiana, sebuah fasilitas yang dikenal sebagai tempat penampungan tahanan imigrasi.

Seorang hakim federal memblokir sementara deportasinya pada hari Senin. Hakim Jesse Furman memerintahkan agar Khalil tidak dideportasi dari AS hingga proses pengadilan lebih lanjut, dengan menekankan perlunya mempertahankan yurisdiksi atas kasus tersebut.

Selama sidang pada hari Rabu, Furman juga mengizinkan Khalil untuk bertemu dengan tim hukumnya setelah para pengacara menyampaikan kekhawatiran tentang komunikasi yang terbatas.

Sidang terpisah dijadwalkan pada 27 Maret di pengadilan imigrasi untuk menentukan keabsahan status kartu hijau Khalil.

Pengacara Departemen Kehakiman berpendapat agar kasus tersebut dipindahkan dari New York, dengan mengusulkan New Jersey atau Louisiana sebagai tempat alternatif.

Reaksi terhadap penahanan

Penangkapan Khalil telah menuai kecaman luas dari organisasi hak asasi manusia, anggota parlemen, dan aktivis.

American Civil Liberties Union (ACLU) menyebut penahanan itu "belum pernah terjadi sebelumnya, ilegal, dan tidak mencerminkan nilai-nilai Amerika," menuduh pemerintah menargetkan individu karena pandangan politik mereka.

Agnes Callamard, Sekretaris Jenderal Amnesty International, menggambarkan penangkapan itu sebagai "sangat mengejutkan" dan pelanggaran nilai-nilai fundamental AS, termasuk kebebasan berekspresi.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga menekankan pentingnya menegakkan hak untuk berkumpul secara damai dan kebebasan berbicara.

Anggota parlemen termasuk Senator Bernie Sanders dan Perwakilan Rashida Tlaib, Ilhan Omar dan Ayanna Pressley telah mengutuk penahanan itu.

Sanders menyebutnya sebagai upaya ilegal untuk menekan perbedaan pendapat politik, sementara 14 anggota Kongres menandatangani surat yang menuntut pembebasan Khalil, menyebut penangkapannya sebagai "serangan langsung terhadap kebebasan berbicara."

Protes telah meletus di seluruh AS, dengan lebih dari 1.000 demonstran berkumpul di New York City pada hari Senin untuk mengecam penangkapan itu sebagai penganiayaan politik.

Para pengunjuk rasa mengkritik upaya pemerintah untuk membungkam perbedaan pendapat, dengan salah satu dari mereka mengatakan "Amerika Serikat memberlakukan banyak undang-undang dan perintah eksekutif untuk mencegah kami mengekspresikan pendapat, membela Palestina, dan membela hak asasi manusia."

Tom Homan, kepala perbatasan Trump, juga menghadapi protes selama kunjungannya ke ibu kota negara bagian New York, Albany. Para demonstran, termasuk anggota dewan Zohran Mamdani, mengkritik peran Homan dalam menerapkan kebijakan imigrasi yang keras dan penahanan Khalil.

"Apakah Anda percaya pada Amandemen Pertama?" teriak Mamdani kepada Homan.

Pada hari Kamis, ratusan aktivis melakukan aksi duduk di Trump Tower di New York City, yang mengakibatkan hampir 100 orang ditangkap.

Implikasi yang lebih luas

Kasus Khalil telah menjadi sorotan internasional dalam perdebatan yang sedang berlangsung mengenai kebebasan berbicara, imigrasi, dan keamanan nasional.

Para kritikus berpendapat bahwa pemerintahan Trump menggunakan penegakan hukum imigrasi untuk menargetkan lawan politik dan menekan aktivisme, khususnya di kampus-kampus. Kasus tersebut juga menyoroti upaya yang lebih luas dari pemerintahan untuk membatasi advokasi pro-Palestina, yang telah meningkat sebagai tanggapan terhadap perang Israel di Gaza, yang telah menewaskan lebih dari 48.500 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, dan meninggalkan daerah kantong itu dalam reruntuhan.

Hasil dari kasusnya dapat menjadi preseden bagi bagaimana pemerintah AS menangani situasi serupa di masa mendatang, dengan implikasi yang signifikan bagi kebebasan berbicara dan kebijakan imigrasi.

Sementara itu, Khalil masih dalam tahanan, terpisah dari istrinya, seorang warga negara Amerika, yang sedang hamil delapan bulan, dan menghadapi masa depan yang tidak pasti.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Fajar Nugraha)