Peras Residen Junior, Dokter PPDS Anestesi Undip Divonis 9 Bulan Penjara

Terdakwa kasus pemerasan dokter residen junior PPDS Anestesi Undip Semarang Zara Yupita Azra berkonsultasi dengan penasihat hukum saat sidang di PN Semarang, Rabu (ANTARA/I.C. Senjaya)

Peras Residen Junior, Dokter PPDS Anestesi Undip Divonis 9 Bulan Penjara

Whisnu Mardiansyah • 1 October 2025 14:45

Semarang: Dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS)Anestesi Universitas Diponegoro Semarang, Zara Yupita Azra, dijatuhi hukuman 9 bulan penjara dalam kasus pemerasan terhadap dokter residen junior. Putusan ini dibacakan dalam sidang di Pengadilan Negeri Semarang pada Rabu, 1 Oktober 2025.

Hakim Ketua Muhammad Djohan Arifin menyatakan vonis ini lebih ringan dari tuntutan penuntut umum yang meminta 1,5 tahun penjara. Terdakwa dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 368 Ayat 1 KUHP tentang pemerasan.

"Menyatakan terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 368 Ayat 1 tentang pemerasan secara bersama-sama dan berlanjut," kata Hakim Muhammad Djohan Arifin seperti dilansir Antara, Rabu, Oktober 25.

Dalam pertimbangan putusan, hakim menilai terdakwa yang merupakan residen PPDS Anestesi angkatan 76 meminta residen angkatan 77 untuk membayar iuran. Iuran tersebut digunakan untuk berbagai kebutuhan operasional selama menjalani pendidikan.

Iuran yang harus dibayarkan tersebut diperuntukkan bagi berbagai kebutuhan, termasuk penyediaan makan prolong dan pembiayaan joki tugas residen senior. Selain itu, terdapat berbagai tugas yang harus dilakukan oleh residen junior akibat sistem hierarki.

Baca: Terdakwa Kasus Perundungan dan Pemerasan PPDS Undip Dituntut 3 Tahun

Hakim menilai perbuatan terdakwa merupakan perbuatan melawan hukum yang tidak memiliki dasar legal. Terdapat relasi kuasa bersifat hierarki yang mempengaruhi dinamika antara senior dan junior.

"Kekuasaan satu pihak atas pihak lainnya," tambah hakim dalam pertimbangan putusannya.

Menurut hakim, terdapat sistem tingkatan antarangkatan yang berlaku turun temurun di lingkungan pendidikan tersebut. Sistem ini mencakup pemberlakuan pasal dan tata krama anestesi dari senior terhadap junior.

Hakim menilai perbuatan terdakwa tidak mendukung pemerintah dalam mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang ramah dan terjangkau. Atas putusan tersebut, baik terdakwa maupun penuntut umum menyatakan akan mempertimbangkan untuk banding.

Proses hukum ini menjadi perhatian publik terhadap sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia. Masyarakat mengharapkan adanya perbaikan sistem untuk mencegah terjadinya praktik serupa di masa depan.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Whisnu M)