Kebut Swasembada Energi, RUU EBET dan RUU Ketenagalistrikan Jadi Jalan

Ilustrasi. Foto: Dok istimewa

Kebut Swasembada Energi, RUU EBET dan RUU Ketenagalistrikan Jadi Jalan

Ihfa Firdausya • 12 August 2025 14:14

Jakarta: Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) dan RUU Ketenagalistrikan dapat menjawab tantangan transisi energi Indonesia. Selain itu dapat menjadi payung hukum efektif untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan.

IESR mengharapkan regulasi ini dapat mewujudkan swasembada ketahanan energi, menurunkan emisi gas rumah kaca, dan meningkatkan akses listrik hijau ke industri. Hal itu demi meningkatkan daya saing di pasar global dan penyediaan listrik yang berkualitas dan terjangkau bagi masyarakat di seluruh Indonesia.

CEO IESR Fabby Tumiwa menyebut salah satu faktor yang perlu diperhatikan oleh RUU EBET dan RUU Kelistrikan adalah tren permintaan energi terbarukan oleh konsumen industri dan bisnis. Sektor ini berupaya meningkatkan daya saing ekspor dan pemenuhan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan seiring dengan tuntutan global menuju net zero emission.

“Ketersediaan energi terbarukan yang cukup, mudah dan terjangkau merupakan prasyarat pelaku industri berinvestasi di Indonesia. Daya saing investasi kita juga ditentukan oleh kemudahan investor mendapatkan akses energi terbarukan. Ini perlu dimengerti oleh pemerintah dan DPR,” kata Fabby dalam keterangan yang diterima, Selasa, 12 Agustus 2025.

IESR mencatat berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga 2024 bauran energi terbarukan baru mencapai 15,37 persen. Di sektor kelistrikan, PLN melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 merencanakan penambahan kapasitas pembangkit 69,5 GW, di antaranya energi terbarukan sebesar 42,6 GW dengan kebutuhan pendanaan sebesar Rp1.682,4 triliun.
 

Baca juga: 

Kebut Program Lisdes, Seluruh Desa Bakal Teraliri Listrik di 2029



(Ilustrasi. Foto: Dok Kementerian ESDM)

Partisipasi investasi swasta

Dari jumlah tersebut, 80 persen akan melibatkan partisipasi investasi swasta. Namun, IESR mencermati minat investasi swasta untuk mendukung implementasi RUPTL tidak terlalu baik, berkaca pada realisasi RUPTL sebelumnya. Kelayakan finansial dan proyek yang bankable menjadi faktor rendahnya minat investor.

Faktor-faktor ini dipengaruhi kondisi finansial PLN. Dalam hal ini tarif tenaga listrik yang ditetapkan pemerintah tidak mencerminkan pengembalian biaya (cost recovery) yang sesungguhnya dan margin yang wajar bagi PLN.

Akibatnya, PLN pun melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan tingkat Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik tetap rendah dan menuntut agar harga pembangkitan tidak melebihi harga BPP rata-rata di sistem.  

IESR memandang kebutuhan untuk pengadaan pembangkit energi terbarukan sekitar 4,26 GW per tahun akan menjadi tantangan bagi PLN. Hal itu mengingat sampai saat ini kemampuan pengadaan pembangkit energi terbarukan dari PLN masih di bawah 1 GW.

Tarif listrik dan mekanisme pengadaan yang ketinggalan zaman (obsolete) membuat kinerja pengadaan PLN rendah. Akibatnya tingkat kesuksesan pengadaan pembangkit di bawah 30 persen dari yang direncanakan.

Fabby menambahkan, kebutuhan energi bersih dan menarik investasi membuat negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam membuka akses jaringan listriknya. Selain itu juga memungkinkan investor membeli langsung listrik dari pengembang energi terbarukan.

"Mereka menggunakan mekanisme power wheeling atau Penggunaan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT) dan direct power purchase agreement," katanya.

Penerapan mekanisme PBJ dan restrukturisasi

Untuk itu, IESR mendorong penerapan mekanisme PBJ dan restrukturisasi pada industri dan pasar sistem ketenagalistrikan yang tetap selaras dengan UUD 1945 pada kedua RUU tersebut. Meski percepatan pengembangan energi terbarukan di Indonesia memerlukan investasi besar dan partisipasi swasta, namun kendali negara atas penyediaan listrik untuk kepentingan umum harus tetap terjaga.

Dalam audiensi ini, IESR memberikan tiga rekomendasi untuk RUU EBET. Pertama menambahkan pasal tentang pemanfaatan bersama jaringan transmisi (PBJT) sebagai salah satu solusi untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan.

Kedua, menetapkan kuota dalam skema PBJT dalam perencanaan energi terbarukan. Ketiga, mengatur peran setiap orang atau komunitas untuk memungkinkan membangkitkan energinya sendiri atau desentralisasi energi.

Rekomendasi RUU Ketenagalistrikan

Sementara rekomendasi untuk RUU Ketenagalistrikan, IESR mendorong enam hal yakni pertama, mentransformasi dan restrukturisasi pada industri dan pasar ketenagalistrikan di Indonesia.

Kedua, menjadikan pemanfaatan bersama jaringan transmisi (PBJT) sebagai bagian restrukturisasi pasar ketenagalistrikan. Hal itu dapat melalui opsi (i) dibentuk BUMN transmisi yang 100 persen dimiliki oleh negara atau (ii) dibentuk anak perusahaan PLN yang independen dari PLN dan berfokus pada pengelolaan dan pengoperasian transmisi.

Ketiga, memerlukan regulasi untuk menjadi enabler bagi layanan penyeimbangan (balancing) dan layanan pendukung (ancillary services) pada sistem ketenagalistrikan. Keempat, memberikan penegasan tentang margin keuntungan Public Service Obligation (PSO) yang setara dengan praktek terbaik global public utility.

Kelima, memuat pasal yang mengatur tentang badan pengawas atau pelaksana yang independen untuk melakukan proses pengadaan energi terbarukan, termasuk untuk mengatur harga jual-beli tenaga listrik ataupun tarif tenaga listrik. Keenam, memberikan jaminan terhadap konsumen yang menjadi prosumer dalam sistem ketenagalistrikan modern.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Eko Nordiansyah)