Pemerintah Kudu Hadapi Tarif AS dengan Kalkulasi Matang

Ilustrasi kegiatan ekspor impor Indonesia. Foto: dok MI/Pius Erlangga.

Pemerintah Kudu Hadapi Tarif AS dengan Kalkulasi Matang

Insi Nantika Jelita • 8 July 2025 12:26

Jakarta: Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menilai rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang memberlakukan tarif tambahan sebesar 10 persen terhadap negara-negara BRICS, perlu diantisipasi dengan kalkulasi yang matang dan strategi yang terukur.

Menurut Shinta, bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS adalah langkah strategis dalam memperkuat jejaring global south, memperluas akses pembiayaan alternatif, serta mendiversifikasi pasar ekspor nasional. Namun, langkah ini juga menghadirkan tantangan baru, terutama dalam bentuk respons proteksionis dari negara seperti AS.

Shinta menegaskan negosiasi di bawah pemerintahan Trump membutuhkan kewaspadaan tinggi karena kebijakan bisa berubah secara mendadak seiring kepentingan politik domestik AS.

"Negosiasi dengan pihak AS, khususnya di era Trump, selalu menuntut kalkulasi yang tepat dan kewaspadaan tinggi karena keputusan kebijakan dapat berubah sewaktu-waktu," ujar Shinta kepada Media Indonesia, dikutip Selasa, 8 Juli 2025.

Pemerintah, ungkapnya, telah mengajukan proposal second offer atau penawaran kedua yang disebut telah diterima oleh perwakilan resmi pemerintah AS, yakni United States Trade Representative (USTR).

Shinta menekankan pentingnya menjaga posisi tawar Indonesia agar tidak dipukul rata dengan negara-negara BRICS lainnya, mengingat perbedaan mendasar dalam profil komoditas dan struktur industrinya.

Menurutnya, keberhasilan negosiasi dalam mengantisipasi potensi tarif tambahan dari AS akan sangat bergantung pada kapasitas diplomasi ekonomi yang terstruktur, berpijak pada kepentingan jangka panjang industri dalam negeri.

Pemerintah sebagai negosiator resmi memiliki peran utama dalam menyusun strategi. "Sementara, dunia usaha siap memberikan masukan tambahan yang dibutuhkan kapan pun diperlukan," ucap dia.

Dalam konteks ini, Shinta mengatakan Apindo telah menjadi mitra strategis pemerintah sejak awal, mengawal jalannya proses negosiasi kebijakan tarif resiprokal yang kini memasuki tenggat krusial pada 9 Juli 2025.

Selama 90 hari terakhir, pihaknya bersama para pelaku usaha telah aktif menyampaikan berbagai masukan, baik secara tertulis maupun langsung dalam berbagai forum resmi. Salah satu usulannya ialah membuka peluang impor komoditas penting seperti kapas, kedelai, produk susu, jagung, dan crude oil sebagai bagian dari strategi win-win, guna menjaga kebutuhan industri dalam negeri sekaligus menjawab kekhawatiran defisit perdagangan AS.

Salah satu usulannya ialah membuka peluang impor komoditas penting seperti kapas, kedelai, produk susu, jagung, dan crude oil sebagai bagian dari strategi win-win, guna menjaga kebutuhan industri dalam negeri sekaligus menjawab kekhawatiran defisit perdagangan AS.
 

Baca juga: Gedung Putih: BRICS Ancam Kepentingan AS, Trump Akan Bertindak Tegas


(Presiden RI Prabowo Subianto di barisan depan foto resmi BRICS. Foto: BPMI Setpres)
 

Menekan industri


Di satu sisi, Shinta mengingatkan jika tarif tambahan benar-benar diberlakukan di luar skema tarif resiprokal yang tengah dinegosiasikan, dampaknya bisa sangat terasa. Yakni, dapat menekan sektor industri padat karya seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), furnitur, alas kaki, dan mainan. Ini menjadi sektor-sektor yang masih sangat bergantung pada pasar AS.

Meskipun ekspor Indonesia ke AS hanya sekitar 10 persen dari total ekspor dan kontribusi ekspor terhadap PDB masih relatif rendah (sekitar 21 persen), tekanan global, masuknya barang ilegal, dan biaya produksi yang tinggi tetap menjadi risiko nyata yang tidak bisa diabaikan. "Risiko ini yang mesti diwaspadai pemerintah," imbuh Shinta.

Meski demikian, Apindo melihat di balik risiko, selalu ada peluang. Keanggotaan Indonesia di BRICS membuka akses lebih luas ke New Development Bank dan potensi integrasi pasar intra-BRICS. Oleh karena itu, pelaku usaha Indonesia didorong untuk fokus pada keunggulan kompetitif, penguatan rantai nilai (value chain), serta menjaga keberlanjutan dan ketahanan industri dalam jangka panjang.

Dengan konsolidasi kebijakan resiprokal yang solid, diplomasi dagang yang berbasis data dan bukti (evidence-based), serta partisipasi aktif dunia usaha, Indonesia diyakini dapat memitigasi dampak negatif kebijakan proteksionis AS sambil tetap memanfaatkan peluang dari BRICS.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)