Menilik Pembentukan Badan Penerimaan Negara

Ilustrasi. Foto: dok Astra Life.

Menilik Pembentukan Badan Penerimaan Negara

Ade Hapsari Lestarini • 19 June 2025 12:18

INISIATIF pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) oleh pemerintah dimuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. RPJMN tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2025 yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada 10 Februari 2025. RPJMN merupakan rencana program yang akan dicapai oleh pemerintahan Prabowo.

Dalam penjabaran menjadi 17 program prioritas, Pemerintah bermaksud menargetkan pertumbuhan ekonomi menuju delapan persen. Pertumbuhan ekonomi ini tentu harus didukung dengan penerimaan pajak dibandingkan dengan total penerimaan total (Produk Domestik Bruto) atau yang dikenal dengan tax ratio. Tax ratio Indonesia 2024 adalah kurang lebih 10,24 persen, dengan pertumbuhan ekonomi 5,05 persen.

Untuk mencapai pertumbuhan delapan persen paling tidak diperlukan tax ratio sekitar 20 sampai dengan 23 persen. Jadi urgensi pembentukan BPN adalah sebagai sarana pencapaian tax ratio yang meningkat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi delapan persen.

Reformasi perpajakan dan reformasi penerimaan negara adalah dua hal yang berbeda. Reformasi perpajakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) saat ini telah memasuki Reformasi Jilid III (Sumber Buku: Reformasi Administrasi Pajak Dari Masa ke Masa). Dalam tahapan III ini, inisiatif didasarkan pada lima pilar yaitu (a) organisasi, (b) SDM, (c) proses bisnis, (d) teknologi informasi dan basis data serta (e) peraturan perundang-undangan.

Organisasi dalam proses ini lebih difokuskan pada sturuktur organisasi DJP yang memperhatikan cakupan geografis, karakteristik organisasi, ekonomi, kearifan lokan, potensi penerimaan, dan rentang kendali yang memadai yang mendukung pelayanan dan pengawasan wajib pajak. Pembentukan BPN sebagaimana diuraikan di atas, diharapkan memperbaiki capaian penerimaan negara.

Penerimaan negara selain bersumber dari pajak yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea & Cukai juga terdapat penerimaan nonpajak yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Penerimaan Negara Bukan Pajak. Dengan demikian, reformasi penerimaan negara dapat ditafsirkan sebagai mereformasi lembaga penerimaan negara untuk kepentingan peningkatan penerimaan negara.

Reformasi perpajakan oleh DJP merupakan bagian dari upaya modernisasi administrasi, namun masih bersifat sektoral. Secara teori, pembentukan BPN dapat dilihat sebagai langkah reformasi kelembagaan fiskal yang lebih luas. Seperti dijelaskan oleh Musgrave (1959), desain administrasi fiskal harus memastikan responsivitas dan integrasi dalam sistem fiskal nasional.

Demikian pula, Bird & Zolt (2003) menyebut lembaga dengan mandat terpadu atas fungsi perpajakan dan non-perpajakan cenderung lebih efektif di negara berkembang. OECD (2013) juga mencatat penggabungan fungsi penerimaan negara dalam satu entitas memungkinkan pelayanan yang lebih efisien dan pendekatan yang lebih komprehensif terhadap kepatuhan wajib pajak.

 

Baca juga: Istana Belum Berencana Bentuk BPN, Pemerintah Fokus Meningkatkan Penerimaan Pajak
 

Posisi kelembagaan BPN


Lalu bagaimana posisi kelembagaan BPN sebaiknya ditempatkan? Sebagai Lembaga otonom, di bawah presiden, atau tetap di Bawah Kementerian Keuangan? Bagian pertanyaan ini yang penting menjadi perhatian. Melihat perbandingan dengan Singapura (Inland Revenue Authority of Singapore), Malaysia (Lembaga Hasil Dalam Negeri) lembaga yang bertanggung jawab terhadap penerimaan negara masih dalam pengawasan Menteri Keuangan. Meskipun demikian, lembaga tersebut mempunyai kewenangan semi otonom. Dengan kewenangan itu, lembaga tersebut lebih bebas dan efektif namun demikian tetap dalam kendali Menteri Keuangan.

Menarik kalau dibandingkan dengan Vietnam, posisi kelembagaan keuangan yang bertanggung jawab terhadap penerimaan berada di bawah Menteri Keuangan seperti halnya Indonesia. Meskipun demikian, Vietnam mempunyai lembaga negara yang efisien, dan strategi penerimaan yang kuat.  Dalam kutipan "World Bank, Revenue Mobilization in Asia 2023" disebutkan keberhasilan menurut World Bank, "Vietnam's strong tax performance stems from a wide VAT base, minimal tax expenditures, and administrative measures that ensure a high degree of compliance, especially in the non-corporate sector".

Dengan demikian, perlu kajian yang lebih mendalam tentang posisi BPN ini. Jika BPN diletakkan sebagai lembaga otonom atau langsung di bawah presiden, mungkin potensi konflik regulasi, overlapping kewenangan, dan resistensi unit-unit di Kemenkeu meningkat. Sementara jika tetap di bawah Kemenkeu, bisa jadi reformasi bisa lebih terkoordinasi, tetapi rentan didominasi kultur lama DJP dan DJBC.


Bambang Aryogunawan. Foto: dok pribadi

Tantangan Utama BPN


Pembentukan BPN memiliki potensi transformatif dalam sistem perpajakan dan keuangan negara, terutama dalam menyatukan fragmentasi kelembagaan yang selama ini menghambat optimalisasi penerimaan negara. Secara teoritis, pembentukan otoritas fiskal terpadu dapat memperkuat koordinasi, mengurangi redundansi sistem, dan menciptakan kerangka insentif yang lebih efisien bagi administrasi penerimaan (Bird & Zolt, 2003: 26).

Namun, keberhasilan jangka panjang dari BPN sangat bergantung pada sejumlah faktor krusial. Pertama, pembentukan lembaga baru tidak secara otomatis menghapus jejak kelembagaan lama. Seperti dikemukakan Bird & Zolt (2003: 22), reformasi kelembagaan bersifat path dependent, struktur dan budaya birokrasi sebelumnya akan memengaruhi efektivitas perubahan ke depan. 

Kedua, integrasi kelembagaan harus disertai transformasi proses bisnis dan sistem digital yang kompatibel, bukan sekadar pemindahan organigram. Dalam jangka panjang, BPN hanya akan menjadi pilar yang kokoh dalam sistem fiskal nasional jika negara mampu menjaga akuntabilitas, memperluas basis pajak, serta meningkatkan kepatuhan melalui pendekatan yang adil dan transparan. Reformasi kelembagaan tanpa reformasi kultural dan prosedural berisiko menciptakan lembaga besar yang tidak lincah, atau bahkan menjadi sumber resistensi baru.

Oleh karena itu, pembentukan BPN perlu dipahami bukan hanya sebagai penggabungan fungsi, melainkan sebagai proses pembaruan fiskal yang memerlukan legitimasi, keterbukaan, dan konsistensi antarrezim pemerintahan.

 
Baca juga: Pembentukan Badan Penerimaan Negara Tak Akan Terbentuk Tahun Depan


Sepanjang BPN dapat dipercaya bukan sekadar pembentukan organisasi baru dan untuk membuat jabatan baru untuk menampung kepentingan pribadi atau golongan, saya optimistis BPN dapat diandalkan sebagai obat untuk meningkatkan tax ratio.

Penyampaian informasi secara terbuka sebagaimana diberitakan pada media massa Kamis, 12 Juni 2025 lebih cenderung memicu tanggapan negatif dari masyarakat. Proses pengusulan secara ilmiah melalui kajian seharusnya dimintakan juga pendapat secara ilmiah kepada masyarakat melalui suatu diskusi terbuka. Mungkin saat ini situasi sosial perekonomian diperlukan tindakan yang tegas diambil kebijakan dari atas, maka tentu perlu dinilai bagaimana latar belakang para pengusul kebijakan.

Reformasi penerimaan negara melalui BPN akan berdampak pada pola kegiatan ekonomi masyarakat dan tentu masyarakat harus melakukan penyesuaian kegiatan ekonominya. Sebagai contoh penerapan coretax yang masih menemui kendala, berdampak pada kesulitan masyarakat melakukan aktivitas ekonominya. Dalam situasi tersebut kemudahan pelayanan harusnya dikedepankan sehingga masyarakat mendukung digitalisasi administrasi secara sukarela. Jadi proses pengusulan, pembentukan BPN yang transparan untuk kepentingan nasional akan memberikan optimisme penerimaan negara yang lebih baik di masa mendatang.

Pemerhati Kebijakan Fiskal, Ketua bidang Perpajakan Internasional Perkumpulan Konsultan Praktisi Perpajakan Indonesia (Perkoppi), Rekan Partner HSR Tax Service, Bambang Aryogunawan

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Ade Hapsari Lestarini)